Amran Bisa Mengubah Indonesia Negara Importir jadi Eksportir

Minggu, 22 Oktober 2017 – 14:58 WIB
Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Foto: Fajar

jpnn.com, JAKARTA - Kinerja sektor pertanian pada pemerintahan Jokowi-JK, yang dimandori Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan jajarannya makin maju dan cukup signifikan.

Tak berlebihan, kinerja itu bak membalikkan telapak tangan. Hanya kurang dari tiga tahun, negeri yang hampir tiga dekade ketergantungan impor bahan pangan, kini berevolusi menjadi negara eksportir mulai dari komoditas bawang merah, beras, jagung dan segera menyusul komoditas pangan lainnya.

BACA JUGA: Mentan Launching Ekspor Perdana Beras Sanggau ke Malaysia

“Harus jujur mengakui prestasinya. Hanya Mentan Amran Sulaiman yang bisa mengubah Indonesia jadi negara eksportir dari sebelumnya hampir tiga dasawarsa jadi importir komoditas pangan. Soal volume ekspor dan jenis komoditasnya banyak atau sedikit, itu tidak masalah. Tetapi ekspor komoditas kita itu sudah dicatat dengan tinta emas dalam lembaran negara dan menjadi devisa negara. Itu bagai pelaris ditorehkan pemerintahan Jokowi-JK kepada negeri ini dan negara tujuan ekspor," ujar Oloan Mulia Siregar, pengamat masalah sektor pertanian di Jakarta, Minggu (22/10).

"Ibarat film, Jokowi- JK sutradaranya dan Andi Amran Sulaiman dan team worknya jadi bintangnya. Itu sukses story yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun dalam menyambut tiga tahun Kabinet Kerja Jokowi-JK. Itu juga bukan pencitraan. Saya yakin mereka yang mengkritik secara tajam, kalau dikasih jabatan sebagai Mentan belum tentu sanggup. Ini seperti main bola. Penonton lebih hebat daripada pemainnya, biasalah itu pada era keterbukaan ini kawan,” imbuh Oloan.

BACA JUGA: Kementan Inovasikan Mesin Panen Bawang Merah

Pernyatan tersebut menanggapi pemberitaan dengan judul “Impor Beras Era Jokowi Tembus Rp15,7 Triliun” dengan pernyataan Direktur Utama Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati bahwa ketergantungan impor di era pemerintahan Jokowi masih sangat tinggi padahal anggaran program kedaulatan pangan sangat tinggi.

Ini juga sekaligus penyataan ekonom senior Indef Bustanul Arifin yang mengatakan, impor beras era pemerintahan Jokowi tahun 2016 mencapai 1,2 juta ton dan Januari-Mei 2017 sebesar 94 ribu ton.

BACA JUGA: Suropati Syndicate: Indef Keliru soal Impor Beras

Sekedar tahu saja, data BPS 2016 bersumber dari bea-cukai, impor beras tahun 2016 mencapai 1,2 juta ton, Namun itu merupakan beras luncuran impor masuk Indonesia awal tahun 2016 dari kontrak impor BULOG pada tahun 2015.

Selanjutnya disebutkan bahwa ada impor beras Januari-Mei 2017 sebesar 94 ribu ton, setelah dicek dan ditelusuri kode HS dan data lainnya, ternyata itu bukan impor beras konsumsi, namun beras pecah 100 persen alias menir untuk keperluan industri.

“Masa sih menir masih diimpor, Kan di dalam negeri banyak- buat apa impor? Ini sih kurang logis. Saya yakin Pemerintah akan mendalaminya, tidak tinggal diam. Pasti dirumuskan dan dievaluasi mengenai importasi beras olahan dan produk olahan pangan lainnya mengingat kemampuan produksi gabah petani sekarang sangat besar. Makanya kita ekspor,” ujarnya

Dia menjelaskan bahwa sebagai bangsa besar, orang Indonesia itu harus saling mendukung. "Kita dirahmati Tuhan berada di bawah khatulistwa dengan dua musim. Negara lain di dunia tidak menikmatinya. Sayangnya mungkin kita sering lupa menikmati pemberian Tuhan itu sehingga sejak dulu jadi negara konsumtif oleh negara kompetitor kita. Buktinya tanah subur kita biarkan mangkrak karena malas. Akibatnya kita serba importasi bahan pangan, padahal sebelumnya, ketika kelompencapir para petani diaktifkan di era Presiden Soeharto, kita berhasil swasembada beras, bahkan lumbung Beras Asean pada tahun 1984," ujarnya.

“Kalau diingat-ingat, penyakit importasi pangan ini mulai terasa sejak Kabinet Pembangunan III rezim Orde Baru Presiden Soeharto- Sodharmono. Lalu merembet ke era reformasi hingga awal Kepemimpinan Presiden Jokowi-JK tahun 2014. Bahwa kita dicap negara net importasi bahan pangan mulai dari Beras, Jagung, Cabai, Bawang Merah-putih, Kedelai, sayur- mayur dan buah- buahan hingga non pangan. Untuk beras, di era Presiden SBY, kita sempat melas-melas ke Thailand dan Vietnam supaya kita dikasih beras. Bayangkan itu. Kita menggerus devisa negara ratusan triliun tiap tahun hanya untuk perut-buah dari malas turun ke sawah, pemerintah zaman itu pat-gulipat. Asing mempermainkan kita dalam hal impor beras ini, karen negara konsumtif,” imbuh Oloan.


Dia mengatakan pernah diajak seorang menteri era Presiden SBY ke Thailand. Waktu itu si menteri mau negosiasi dengan Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian Thailand. "Waktu itu mau impor beras. Pertemuannya di salah satu hotel di Hua Hin Beac Thaliand. Saat itu sang Menteri teman saya- terkaget- kaget dalam pertemuan itu. Bahwa Menteri Thailand itu katanya menaikkan harganya dari kesepakatan awal. Hati saya ngenes mendengarnya. Itu sangat ironis. Saya bergumam. Alangkah bobroknya negeri saya kalau sampai impor beras ini gagal. Rakyat akan kelaparan di tengah merdunya dendang Koes Ploes : orang bilang- tanah kita -tanah sorga,” tuturnya mengisahkan perjalanan Indonesia mencari makan buat rakyatnya akibat malas turun ke sawah dan pemerintah kurang membinanya.

Untuk itukah lanjutnya, di tengah semangat juang yang tengah mendidih Mentan dan the dream team saat ini, dia meminta semua pihak mendukungnya dengan sepenuh hati.

“Bila masih ada yang kurang-itu sudah pasti, Mana ada manusia yang sempurna. Yang sempurna itu hanya para Malaikat dan Allah Subhana Huwataala. Juga perlu dicatat, pada musim kemarau panjang tahun 2017, Indonesia nihil importasi bahan pangan. Kita tidak paceklik. Bahkan tahun 2016 lalu, capaian kinerja sektor pertanian cukup lumayan meski di tengah musim La- Nina, juga tahun 2015 saat El-Nino 2015, kita mampu melakukan swasembada beras, nihil importasi beras dan bahan pangan lainnya,” paparnya.

Dia juga mengetahui bahwa Presiden Jokowi meminta Amran berjuang mati-matian sesuai jargon 'kerja', demi memecahkan rekor nihil impor pangan sejak dilantik jadi Mentan hingga sekarang.

"Buktinya Pak Amran bisa mengejawantahkan amanat itu. Beliau bisa membalikkan situasi 360 derajat menjadikan kita negara eksportir. Jangan- jangan Pak Amran sudah haramkan impor komoditas pangan sehingga beliau sehari di Desa ini- sehari lagi di Desa anu dan keluar- masuk Desa. Tidak seperti Mentan- mentan sebelumnya melek di atas kursi goyang di ruang ber-AC. Ini realitas yang harus kita jempol,” tambah anak kolong yang gemar bertani ini.

Menurut dia di era kebebasan dan demokratisasi ini siapa saja boleh berkata apa pendapatnya, termasuk para pakar dan ekonom bebas menyampaikan pendapatnya. Tetapi pemerintah jangan goyah dengan job desk atau core yang diamanatkan Kepala Negara untuk dikerjakan di masing-masing desknya.

"Malah Pak Jokowi ingin sekali dikritik sekalipun keras- tetapi yang membangun. Saya rasa Pak Mentan juga begitu. Beliaukan seorang akademis bergelar DR. Anggap saja kritik dan saran para pakar sebagai vitamin atau sparring partner atau guru kita untuk terus maju dan menunjukkan kepada dunia bahwa diri kita berkinerja baik untuk bangsa dan negeri ini. Itu pengabdian sangat hakiki. Dan saya yakin, bila kinerja seseorang kinclong- pakar manapun takkan menyebutkan itu butek atau gray. Kalau yang bagus dikatakan pakar jelek- sama saja dia meludah ke atas,” bebernya.

Namun dia juga mengimbau supaya para pakar fair melihat kinerja seseorang. Pak Mentan ini misalnya, dalam kondisi pertanian tahun 2015-2016 yang dilanda musim El- Nina dan La-nina masih bisa menyelamatkan Indonesia tanpa impor beras.

“Bandingkan dengan kinerja para Mentan kabinet sebelumnya. Itu lebih fair. Kalau zaman kabinet dulu itu, kemarau impor, hujan terus juga impor. Katanya alasan fenomena alam, panen petani gagal. Ya impor lagi- impor lagi. Nah, Pak Amran, mana ada. Kalaupun ada seperti kata itu, kan beras pecah 100 persen alias menir untuk keperluan industri, bukan beras konsumsi. Setahu saya begitu. Lagian pakar juga harus tahu. Tidak seorangpun Mentan sebelumnya mampu mengekspor komoditas pangan seperti dilakukan Amran Sulaiman yang sekarang. Yang ada semua serba impor. Nah ini harus jadi catatan para pakar –disuport dong supaya kinerjanya semakin bergelimang. Itu lebih fair dan membangun character building,” imbuhnya.

Menurut dia realitas di lapangan kinerja Mentan Amran bagus. "Saya tidak kenal Pak Amran. Beliau orang Makassar, saya orang Batak, kan gak ketemu tuh. Tetapi saya lebih optimis ke depan bahwa petani kita akan semakin makmur. Diharapkan sesuai Nawa Cita Jokowi. Gong program ekspor pangan sudah dipalu Pak Mentan. Tahun 2017 ini targetnya stock 4 juta ton beras. Itu angka cukup lumayan. Kemudian untuk konsumsi kita juga pasokannya aman. Itu kan luar biasa namanya. Dulu kita tidak ekspor- tapi kekurangan beras. Nah artinya yang dilakukan Pak Amran cs, terus terang saya kasih nilai 99, yang 1 angka lagi bila beliau mampu memenuhi target 4 juta ton beras tersebut,” harapnya.

“Sebelumnya, Februari 2017 kita berhasil mengekspor beras dari Merauke ke Papua Nugini. 20 Oktober 2017 kita ekspor beras lagi dari Entikong ke Malaysia. Walau tidak sebanyak ekspor Beras Thailand, tetapi kita harus bersyukur bahwa kita tengah berevolusi menjadi eksportir kecil-kecilan dulu, nanti kan makin besar,” pungkasnya.

Data Kementan RI, luas tanam Padi periode Juli-September tahun 2016-2017 ini mencapai kisaran 1,0 juta hektar perbulan, hampir dua kali lipat dari luas tanam Juli-September selama 16 tahun terakhir sekitar 600 ribu hektar perbulan. Artinya mulai 2016 sudah menemukan resep mengatasi paceklik dan membalikkan menjadi swasembada.

Untuk diketahui pada 2015 terjadi El-Nino terbesar kekuatan SST Anom 2,95oC dan diikuti 2016 terjadi La-Nina. Kejadian El-Nino tertinggi sebelumnya yakni tahun 1997 dengan kekuatan SST Anom 2,67oC. Pada 1997 dampak el-Nino mengakibatkan sawah mengalami kekeringan 517 ribu hektar dengan puso 87 ribu hektar dari luas padi 11 juta hektar. Selanjutnya Indonesia impor beras tahun 1998 sebesar 7,1 juta ton dan 1999 sebesar 5,0 juta ton, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi 202 juta penduduk.

Bila dihitung dengan ekstrapolasi, jika tiada antispasi dini dan mitigasi El-Nino 2015, maka musibah 1997 terulang dengan jumlah penduduk tahun 2015 sebesar 252 juta jiwa dipastikan Indonesia 2015-2016 akan terpaksa impor 16,6 juta ton beras. Tapi faktanya 2016 mampu menggenjot produksi, sehingga swasemada dan tidak impor beras. (adv/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Masalah Perberasan, Indef dan Bustanul Arifin Dinilai Keliru


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Kementan  

Terpopuler