Suropati Syndicate: Indef Keliru soal Impor Beras

Jumat, 20 Oktober 2017 – 09:45 WIB
Ilustrasi beras. Foto: Radar Semarang/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Suropati Syndicate, Alhe Laitte menilai pernyataan Direktur Utama Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati bahwa ketergantungan impor di era pemerintahan Jokowi masih sangat tinggi padahal anggaran program kedaulatan pangan besar adalah keliru.

Demikian juga penyataan ekonom senior Indef Bustanul Arifin yang mengatakan, impor beras era pemerintahan Jokowi tahun 2016 mencapai 1,2 juta ton dan Januari-Mei 2017 sebesar 94 ribu ton juga keliru karena kurang cermat membaca data pangan.

BACA JUGA: Masalah Perberasan, Indef dan Bustanul Arifin Dinilai Keliru

Alhe menjelaskan, anggaran 2016 Kementerian Pertanian (Kementan) Rp 27,6 triliun itu turun 16 persen dibandingkan 2015 dan 2017 sebesar Rp 24,1 triliun itu turun 13 persen dibandingkan 2016. Sedangkan untuk subsidi pupuk setiap tahun itu 9,55 juta ton setara Rp 32 triliun itu flat setiap tahun dan dampaknya keseluruhan sudah terlihat dari peningkatan produksi.

“Faktanya, dilihat dari anggaran sejak 2015-2017 terus menurun, itu pun telah dimanfaatkan fokus, optimal dan disiplin. Bukti fokus adalah pada 2017 anggaran porsi 70 persen untuk petani dan 2018 porsi 85 persen untuk petani dan sisanya untuk gaji dan operasioanal yang minim. Bukti anggaran digunakan disiplin adalah memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh BPK-RI, yang sebelumnya tidak pernah WTP sama sekali,” kata Alhe di Jakarta, Jumat (20/10).

BACA JUGA: FAO: Jumlah Petani Terus Berkurang

Berbagai kebijakan dan program upaya khusus (upsus) sejak 2015 hingga sekarang digunakan fokus memperkuat infrastruktur irigasi besar-besaran irigasti tersier 3,2 juta hektar, mekanisasi 280 ribu unit naik 2000 persen, bantuan dan subsidi benih, pupuk, asuransi, dan lainnya berhasil meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani. Buktinya produksi padi 2016 sebesar 79,2 juta ton atau naik 11,7 persen dibandingkan tahun 2014.

"Produksi padi dua tahun terakhir naik 8,4 juta ton setara Rp 38,5 triliun. Demikian juga produksi jagung meningkat. Kenaikan produksi 43 komoditas 2014-2016 telah memberikan nilai tambah ekonomi Rp 318 triliun, data terkonfirmasi juga dilihat dari PDB pertanian terus tumbuh" sebut Alhe.

BACA JUGA: Kembalikan Kejayaan Rempah-Rempah, Kementan Rogoh Rp 55 T

Dia menilai, pengamat mesti cermat memahami data impor. Memang betul data impor pada BPS 2016 yang dikumpulkan dari data beras masuk ke pelabuhan (beacukai) itu 1,2 juta ton. Tapi mestinya dikonfirmasi dulu siapa importir dan sumber penerbit izin impornya.

Untuk diketahui data impor beras medium 2016 itu beras luncuran impor BULOG tahun 2015 dan sejak Januari 2016 hingga Oktober 2017 ini Kemendag tidak pernah menerbitkan ijin impor beras medium. “Tolong deh silahkan di cek dan dikonfirmasi data ke BULOG dan ke Kemendag,” ucap Alhe.

Selanjutnya berdasarkan data BPS, impor beras Januari-Mei 2017 sebesar 94 ribu ton itu 98 persen beras pecah 100 persen alias menir untuk keperluan industri, bukan beras konsumsi. Kini sedang dalam proses bahwa impor beras olahan dan produk olahan pangan lainnya sedang dievaluasi kembali dan mesti mempertimbangkan produksi dalam negeri.

Indonesia pun juga sudah ekspor beras premium dan beras khusus ke bebrapa negara. Pada 20 Oktober 2017 juga ekspor dari Entikong ke Malaysia.

“Jadi ya faktanya pada tahun 2016 dan 2017 Indonesia tidak impor beras medium. Sejak tahun 2016 Pemerintah tidak mengeluarkan ijin impor beras medium. Ini kan berkat kemampuan swasembada beras dan berhasil menata tataniaga pangan,” jelas Alhe.

Buktinya, lanjut Alhe, saat Ramadhan dan Lebaran pasokan pangan amand an harga stabil. Bahkan ada mafia beras yang diproses hukum pun mengakui salah dan meminta maaf tersebar pada media tu.

“Ini lagi keberahsilan bonusnya, yakni sejak 2016 hingga kini tidak impor cabai segar, bawang merah. Pada Januari-Oktober 2017 ini ada tidak impor jagung pakan ternak dan tidak impor gandum suplemen pakan ternak,” ungkapnya.

“Karena itu pengamat sebaiknya cermat membaca dan mengkaji data sehingga tidak meresahkan publik. Sebaiknya memberi saran, bukan kesannya selalu apriori melulu. Pengamat yang keliru pun juga bisa minta maaf dan pasti pada memaafkan,” tandas Alhe. (adv/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini yang Bikin Petani Bergairah, Pekuburan Pun Ditanami


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Kementan  

Terpopuler