An-Noor, Musala Perjuangan bagi TKI di Daejeon, Korsel

Jamaah Bertambah, Yasinan Numpang di Gereja

Selasa, 28 Juni 2011 – 08:08 WIB

Menempati lantai atas sebuah ruko di Daejeon, Korsel, para TKI mengubahnya menjadi tempat multifungsiMusala untuk beribadah, kursus, kuliah jarak jauh, dan pelatihan bisnis

BACA JUGA: OJack, Ojek Berargometer Pertama di Indonesia yang Semakin Banyak Pelanggan

Upaya meng-upgrade diri di negeri orang agar tak terus-menerus menjadi pekerja kasar
Berikut laporan HAFID ABDURAHMAN yang baru pulang dari Daejeon

BACA JUGA: Rosita, TKI Perempuan yang Berjuang Sendiri untuk Lolos dari Hukuman Pancung



==================================

SEBUAH papan tulis (whiteboard) dan hiasan Kakbah berukuran kecil terpampang di dinding bercat putih ruangan berukuran kira-kira 6 x 15 meter
Di pojok, terdapat mimbar lengkap dengan kaligrafi Allah

BACA JUGA: Menikah Kali Keempat dengan Gadis 18 Tahun, Wali Kota Bogor Digunjing Warga

Hiasan tempat ceramah salat Jumat itu tak dipahat, hanya berupa kertas yang ditempel dengan isolasi.
 
Lantai ruangannya berbahan parquet bermotif kayuDi tengah-tengah, tampak sebuah komputer lengkap dengan printerDi sisi timur, terdapat kamar mandi yang sekaligus difungsikan sebagai tempat wudu kala hendak salat
 
SederhanaNamun, Musala An-Noor punya arti besar bagi para TKI di Kota Daejeon, Korsel"Kami mendirikan An-Noor ini dengan susah payah," kata MSubhan, takmir musala itu.
 
An-Noor berada di dekat kawasan downtown Daejeon yang berjarak sekitar 160 kilometer dari ibu kota Korsel, SeoulTempat ibadah tersebut menempati lantai paling atas sebuah ruko berlantai tigaLantai di bawahnya digunakan untuk kafe, lantai paling bawah difungsikan sebagai toko penjual perhiasan.
 
Jawa Pos datang ke An-Noor ditemani Ketua Yayasan Ciputra Pendidikan Benny Bernandus dan dosen Universitas Ciputra (UC) Jeskhael Este SutantoKeduanya mengawal mahasiswa UC mengikuti kegiatan Summer Immersion Program pada 11?18 Juni lalu.
 
"Sebelum ada musala ini, warga Indonesia salat di berbagai tempatDi taman-taman kota, bahkan sebelah toilet umumSebab, susah mencari musala apalagi masjid di kota ini," ungkap pria 36 tahun asal Bojonegoro tersebut.
 
Kesulitan mencari tempat untuk bersembahyang itulah yang membuat Subhan dan kawan-kawannya begitu bersemangat membangun musalaSebelum neon sign bertulisan Musholla An-Noor berwarna hijau dengan bingkai garis putih di lantai tiga ruko itu menyala terang saat malam, mereka harus melewati jalan berliku.
   
Semuanya berawal dari sebuah komunitas yang dibentuk para TKI di Daejeon pada 2008 laluDari hari ke hari jumlah anggota komunitas dengan nama Imnida (Ikatan Muslim Indonesia) itu semakin banyakAkhirnya mereka membuat majelis yasinan"Kumpulnya setiap MingguSebab, semua pekerja kan liburSebelum yasinan, kami kumpul-kumpul dan kadang bermain sepak bola," paparnya.
   
Kadang, ketika tempat pertemuan tak cukup, para jamaah yang semuanya buruh migran asal Indonesia itu pun menggelar pengajian di sebuah gerejaKebetulan gereja tersebut juga merupakan shelter bagi migran atau pekerja asing"Gereja itu bernama Gereja Bindel di kawasan HwadongDi sana ada shelter yang dikelola oleh sebuah LSMPeserta yasinan di gereja saat itu mencapai 40 orang," jelas Subhan sembari membenahi letak peci putihnya.
   
Namun, mereka tak lama menggelar pengajian di tempat ibadah kaum Nasrani tersebutSebab, Gereja Bindel direnovasi dan para TKI harus mencari tempat lainKomunitas pengajian terus bertambahPesertanya tak hanya TKIBeberapa mahasiswa yang menimba ilmu di Korsel juga ikut bergabung.
   
Setelah bertukar ide, akhirnya muncul gagasan untuk memberikan kursus bagi TKIPematerinya adalah mahasiswa"Jadi, setiap pertemuan tak hanya digunakan untuk pengajianTKI juga mendapat kursus dari mahasiswa," paparnya.
   
Gagasan itu didasari keinginan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilanPara TKI tak ingin terus-menerus menjadi pembantu rumah tangga dan memeras keringat sebagai pekerja kasarMereka ingin maju dan banyak di antaranya ingin meneruskan pendidikan formal.
   
Penghasilan mereka yang kebanyakan bekerja sebagai buruh pabrik antara Rp 10 juta hingga Rp 15 jutaMereka juga rata-rata lulusan SMA dengan skill mumpuni"Sebab, pekerja di sini kan resmi karena ada kerja sama G to G (government to government) antara Indonesia dan KoreaJadi, mereka harus melalui seleksi ketat," ujar Ony Avrianto Jamhari, regional manager and international relations SolBridge International School of Business
   
SolBridge merupakan salah satu kampus bisnis di Daejeon, KorselOny merupakan salah satu pengajarDia memberikan kursus bahasa Inggris kepada TKI
   
Ide untuk belajar juga terinspirasi dari kesuksesan seorang TKI di Korsel yang kini bergelar sarjana"Dia adalah Saiful HadiDulu dia adalah TKI ilegalTapi, kemudian dia belajar dan berkuliah di Chungnam National University," kata Dedi Prasetyo, takmir musala lainnya.
   
Setelah melalui persiapan matang, dimulailah proses belajar-mengajarAda tiga "pelajaran" yang diterima TKIYakni, bahasa Inggris, bahasa Korea, dan komputerSemua dihelat setelah pengajian
   
Belajar sekaligus beribadah itu dilakukan dengan nunut di DICC (Daejeon International Community Center)Tempat tersebut memang merupakan fasilitas umum bagi orang asing di DaejeonKarena itu, untuk meminjam tempat, para TKI dan mahasiswa tak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun.
   
Ketika belajar dan beribadah yang dilakukan setiap minggu, beberapa TKI dan mahasiswa berupaya mencari tempat permanen untuk dijadikan musala sekaligus "kampus" bagi TKI"Akhirnya kami memilih ruko ini sebagai musalaDulu tempat itu adalah warnet," ucap Dedy.
    
Jika belajar dan ibadah berjalan mulus meski harus berpindah-pindah tempat, mendirikan musala butuh upaya kerasPertama, para TKI tidak punya cukup danaKedua, mengurus perizinan untuk tempat ibadah di Korsel tidaklah gampang
    
Setelah berjuang, para TKI akhirnya berhasil mengumpulkan dana dengan cara utang sebesar 5 juta won atau sekitar Rp 42,5 juta dari Islamic Center Daejeon"Kami modal nekatAda 13 orang yang menjaminkan diri ke Islamic CenterAlhamdulillah, kami dapat utangan," jelasnya.
    
Uang di tangan, namun para TKI terbentur perizinanUntuk membangun musala, harus ada izin dari pemerintah setempatSelain itu, para TKI membangun musala dengan menyewa tempatDengan demikian, mereka harus meminjam nama penduduk lokal.
    
"Kami cari izin, malah sempat dicurigai terorisKarena itu, polisi malah sering sliweran memantau kami," ucap Subhan"Kami jelaskan bahwa kami bukan terorisKami terus meyakinkan itu kepada polisiKemudian, polisi justru membantu kami menguruskan izin ke pemerintah," sambungnya.
    
Para TKI girang bukan kepalangPenantian dan perjuangan selama dua tahun akhirnya berakhirMereka akhirnya memiliki Musala An-Noor yang diresmikan pada 27 September 2009Kegiatan ibadah dan belajar yang dulunya no maden alias selalu berpindah-pindah akhirnya dipusatkan di tempat ibadah itu.
    
Aktivitas di An-Noor terus berkembangDari tempat ibadah dan kursus, musala kemudian menjadi salah satu sentra bisnis bagi TKIMereka mengembangkan bisnis pulsaTakmir masjid mengoordinasi para pekerja untuk mengedarkan voucher"Mereka kan bekerja di beberapa pabrikDi sana, banyak pekerja asingKarena itu, para pekerja kami titipi pulsa khusus sambungan internasional," terangnya sembari menunjukkan tumpukan voucher pulsa dengan beraneka ragam gambar
    
Bisnis kecil-kecilan itu mulai membuahkan hasilSetiap bulan, omzet bisnis pulsa yang dikelola TKI mencapai keuntungan 500 ribu won atau sekitar Rp 4,25 jutaKeuntungan tersebut digunakan untuk menutup biaya sewa gedung dan operasional musala.
        
Para TKI kreatif itu belum puasMereka terus berjuang meningkatkan taraf hidupPara pekerja tersebut bergairah untuk mendapatkan gelar sarjanaKarena itu, muncul gagasan untuk kuliah jarak jauh melalui Universitas Terbuka (UT)Harapannya, setelah pulang dari Korsel, mereka bisa memperoleh banyak keuntunganDapat modal plus pengalaman sekaligus titel.
    
Lagi-lagi, para TKI yang dibantu mahasiswa tersebut harus melalui jalan terjalNamun, setelah setahun berjuang, para TKI akhirnya bisa kuliahTahun ini, para TKI yang menjadi mahasiswa UT mencapai 326 orangSelain Daejeon, perkuliahan dilakukan di kota Busan, Ansan, Daegu, dan SeoulMereka kuliah di jurusan manajemen, bahasa Inggris, dan ilmu komunikasi.
    
Khusus Daejeon, kuliah juga dilakukan di Musala An-Noor"Kadang juga di DICCPer semester, bayarnya 250 ribu won atau sekitar Rp 2,1 jutaDosennya mahasiswa Korea yang disetujui UTNamun, setahun sekali, dosen dari Jakarta melakukan kuliah umum di sini," ucapnya.
    
Setelah jadi "kampus" dan "pusat bisnis", pemanfaatan Musala An-Noor terus ditingkatkanKali ini, para takmir berancang-ancang membuka TPA (Taman Pendidikan Alquran)Sebab, saat ini, semakin banyak anak keturunan Indonesia di Korsel"Kebanyakan, perempuan Indonesia menikah dengan orang KoreaJadi, anaknya kami fasilitasi dengan TPA," ujar Subhan(*/lk)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menikah Kali Keempat dengan Gadis 18 Tahun, Wali Kota Bogor Digunjing Warga


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler