Ketika keluarga Pattisahusiwa Azizah berlibur ke Indonesia, kedua putrinya pernah heran melihat sepupu mereka yang sebaya, tapi masih disuapi makan oleh orangtuanya.
"Kenapa dia masih disuapin? Kenapa kita tak punya pembantu seperti mereka?" kata Azizah mengutip pertanyaan putrinya kepada Farid Ibrahim dari ABC Indonesia.
BACA JUGA: Seorang Perempuan di Amerika Serikat Berhasil Melarikan Diri Setelah Dikurung
Keheranan Shakeela (17 tahun) dan Syabeela (12 tahun), kedua putri Azizah, sering juga muncul di kalangan anak-anak keluarga diaspora Indonesia yang lahir dan besar di luar negeri.
Warga diaspora Indonesia memang harus mengasuh dan membesarkan anak-anaknya sendiri, tanpa bantuan keluarga atau sanak saudara, tak bisa juga mempekerjakan asisten rumah tangga yang bukan jadi kebiasaan warga di negara-negara barat.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Donald Trump Mengaku Tak Bersalah dalam Kasus Pemilu 2020
"Saya membesarkan mereka cuma berdua dengan suami," jelas Azizah. Sejak kapan anak-anak diajarkan mandiri?
Azizah sehari-harinya bekerja sebagai carer, atau perawat warga lanjut usia. Suaminya juga harus bekerja.
BACA JUGA: Fasilitas Eskpor Sapi Australia Sangat Terpukul Akibat Larangan Pemerintah Indonesia
Karenanya, menjadi penting untuk menanamkan kemandirian pada kedua anaknya.
"Sebisa mungkin kami terapkan anak-anak bisa mandiri sedari mereka masuk kindy [Taman Kanak-kanak]," katanya.
"Dimulai dari hal-hal kecil seperti membereskan mainan mereka sendiri, bertanggung jawab sama mainan-mainan mereka."
Hal yang sama juga dilakukan Irene Mus Mulyadi asal Jakarta yang sudah menetap di kota Adelaide sejak 1996.
Irene yang menikah dengan pria Australia bernama Nick memiliki tiga orang anak, yaitu Aldo (18 tahun), Alana (15 tahun), serta Aldeyna (10 tahun).
"Dari kecil kami sudah mengajarkan anak-anak untuk membereskan mainan," kata Irene.
"Tapi dengan cara yang tidak memaksa dan tidak menjadikannya keharusan, melainkan dibawa santai, pelan-pelan dan fun [menyenangkan]."
Mengajarkan anak untuk mandiri sejak bayi malah pernah dilakukan Sagitta Novinza, warga Sydney asal Potianak.
Saat anaknya, Charlotte, masih berusia 22 bulan, Sagitta sudah membiasakannya untuk tidur sendiri di cote, atau tempat tidur bayi.
"Saya percaya pada motto untuk percaya bahwa anak kita bisa melakukan apa saja," katanya.Mengajari kemampuan untuk bertahan hidup
Banyak orangtua asal Indonesia di Australia sepakat jika anak-anak mereka perlu diajarkan survival skills yang mendasar, seperti memasak, mencuci pakaian, serta beres-beres rumah.
Alasannya, agar mereka bisa mengurus diri sendiri setelah dewasa nanti karena kecil kemungkinannya untuk memiliki asisten rumah tangga.
Saat kedua anaknya masuk sekolah dasar, Azizah mulai mengajari mereka mencuci piring masing-masing setiap kali selesai makan.
Di sekolah menengah, Shakeela dan Syabeela juga sudah terbiasa menyiapkan lunch box masing-masing, juga membantu ibunya menjemur dan melipat pakaian.
Shakeela bahkan sudah bisa memasak menu sederhana seperti pasta, mie atau nasi goreng kalau ayah dan ibunya pulang kerja dan masih kelelahan.
Kemandirian kedua putrinya, menurut Azizah, terbentuk karena mereka melihat sendiri ayah dan ibunya saling membantu mengerjakan pekerjaan di rumah.
"Sejauh ini saya sangat bersyukur karena mereka bisa pergi dan pulang sekolah sendiri, Kalau ayah dan bundanya belum pulang kerja mereka bisa siapkan makanan sendiri," kata Azizah.
Irene mengatakan anak-anaknya yang remaja sudah terbiasa dengan melakukan pekerjaan rumah sendiri bahkan menolong orangtuanya untuk urusan rumah.
"Begitu mereka sudah kelas 4 atau 5 SD, saya sudah mengajarkan untuk memisahkan pakaian sebelum mencuci baju, mana yang putih, berwarna, dan yang hitam," katanya.
"Dan sekarang yang umur 18 dan 15 [Aldo dan Alana] sudah bisa sendiri, bahkan saya sering minta tolong mereka."
Untuk urusan memasak, Irene mengatakan anak-anak mendapatkan pelajarannya di sekolah, sejak mereka duduk di bangku SMP.Belajar mencari uang sendiri
Irene mengatakan Aldo dan Alana sekarang sudah bekerja paruh waktu di supermarket di Adelaide.
"Saya [awalnya] enggak setuju. Mama saya juga marah-marah dan bertanya, 'Masa masih sekolah disuruh kerja?'" ujarnya.
"Tapi suami saya bilang itu harus, karena mendidik mereka untuk bisa mengambil keputusan."
Sebagai orang Indonesia yang memiliki pola didikan berbeda dengan Australia, Irene mempelajari cara mendidik anak-anaknya dari suaminya.
"Karena suami saya orang Australia, dan dia dididik untuk jadi independent, misalnya dalam memilih keputusan dalam hidup," katanya.
"Saya enggak tahu apakah semua orang Australia begitu, tetapi kalau suami saya tidak memaksakan kehendaknya pada anak, karena menurutnya itu hidup anak kami, bukan kami."
Dalam perjalanan mendidik anak agar mandiri, Sagitta percaya bahwa setiap anak berbeda, sehingga orangtua tetap harus "belajar bersama" seiring perkembangan mereka.
"Kita harus lihat bahwa berbeda anak, beda juga pertumbuhannya," katanya.
Sebagai orangtua yang membesarkan anak di Australia tanpa bantuan keluarga atau asisten rumah tangga, Sagitta mengandalkan ilmu dari media sosial dan komunitas.
"Kebanyakan saya ke Google atau beberapa akun Instagram ibu-ibu yang kontennya positif," katanya.
"Ada juga aplikasi, namanya BabyCenter, dan saya juga bergabung dalam grup komunitas untuk ibu Australia di Facebook."
BACA ARTIKEL LAINNYA... World Dwarf Games Berikan Kesempatan Bagi Atlet Kerdil Sedunia Untuk Tunjukan Kemampuan