jpnn.com, JAKARTA - Indonesia menganut demokrasi Pancasila. Sistem demokrasi dilaksanakan berdasarkan musyawarah untuk mufakat bagi kesejahteraan rakyat.
“Hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak menjelang Pemilu 2024 yang tinggal beberapa bulan lagi,” ujar Praktisi Hukum dan Pemerhati Polsosbud Agus Widjajanto dalam keterangan tertulis pada Senin (23/10/2023).
BACA JUGA: Ketua DPD RI: Kembali ke Sistem Demokrasi Pancasila, Bukan Berarti Balik ke Era Orde Baru
Pada Pemilu 2024, menurut Agus, selain Pilpres, Pemilihan Anggota Legislatif dan Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI pada 14 Februari 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga akan menggelar Pemilu kepala daerah Serentak pada 27 November 2024.
Pemilu kepala daerah diikuti 548 daerah dengan rincian 38 provinsi, 415 kabupaten, dan 98 kota.
BACA JUGA: Benny Susetyo Sebut Demokrasi Pancasila Solusi Melawan Korupsi
Dia mengajak untuk merenungkan bersama, apakah demokrasi yang berjalan di Indonesia telah sesuai dengan Demokrasi Pancasila?
Agus menyebut penyelenggaraan Pemilu merupakan prasyarat bagi negara yang menggunakan sistem demokrasi.
BACA JUGA: Bertemu Ketum LDII, Ketua MPR Sebut Sistem Demokrasi Indonesia Perlu Perbaikan
“Pemilu diselenggarakan untuk mewujudkan tujuan demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut, penyelenggaraan Pemilu harus mencerminkan nilai-nilai demokrasi,” tegas Agus.
"Sistem demokrasi perwakilan bertujuan agar kepentingan dan kehendak warga negara tetap dapat menjadi bahan pembuatan keputusan melalui orang-orang yang mewakili mereka," sambungnya.
Dia mengungkapkan Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme Pemilu langsung yang merupakan bentuk kedaulatan rakyat dalam memilih penyelenggara negara dan pemerintahan berdasarkan kontitusi, yaitu UUD 1945.
Sebagai negara demokrasi yang berasaskan Pancasila, maka pelaksanaannya juga harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Meminjam istilah dari Plato, menurut Agus, negara haruslah berdasarkan hukum dan keadilan.
Peraturan dibuat rakyat dan gagasan yang timbul, saat zaman Yunani kuno, Plato melihat keadaan negaranya yang dipimpin oleh pemimpin otoriter.
Sedangkan Aristoteles merumuskan negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan bagi warga negaranya.
"Negara hukum dan demokrasi sangat erat hubungannya, negara tanpa peraturan hukum yang adil mustahil mencapai demokrasi. Supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada hakekatnya berasal dari kedaulatan rakyat yang diberikan kepada wakilnya dalam hal ini penguasa dan DPR,” ujar Agus Widjajanto.
Dia menyebut terdapat korelasi yang jelas antara hukum yang bertumpu pada konstitusi dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Oleh karena itu, pula kemudian muncul istilah demokrasi konstitusional.
"Yang jadi pertanyaan kita selanjutnya, mengapa dalam negara demokrasi di dalam negara berkembang kerap muncul kekuasaan yang ditopang oleh oligarki, dalam sistem demokrasi?" kata dia.
Pria asal Kudus Jawa Tengah itu lantas mengutip catatan Prof Suteki dalam buku Hukum dan masyarakat mengenai beberapa faktor yang mendorong munculnya oligarki.
Pertama, keberadaan figur utama dalam elite partai yang menjadi penentu dalam banyak keputusan yang merupakan representasi dari ideologis dan historis dari pembentukan partai itu sendiri.
Kedua, adanya ketergantungan finansial pada sumber sumber keuangan Partai yang kerap dimiliki oleh elit partai.
Colin Crouch (2004) menggunakan istilah 'Firma politik'. Ketiga, karena pelembagaan partai yang belum sempurna. Kondisi sistem yang dibangun partai masih merujuk pada elit partai.
Selanjutnya AD/ART partai yang masih menjunjung tinggi elit partai.
Terakhir faktor eksternal yang turut mempengaruhi partai, yang mana masih memberikan celah untuk membangun oligarki dalam dirinya. Baik pada kaderisasi maupun pengelolaan keuangan masih yang dijalankan secara sentralistik.
Agus Widjajanto mengutip Jeffrey A Winters dalam bukunya bertajuk oligarchy menempatkan oligarki dalam dua dimensi.
Pertama oligarki yang dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas hingga mampu menguasai simpul simpul kekuasaan.
Kedua, oligarki yang beroperasi pada kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik. Jika menilik pendapat Jeffri A Winters, seharusnya suara rakyat tidak hanya dibutuhkan dan diakui hanya untuk 5 tahunan saat pemilu. Setelah itu suara rakyat yang pada esensinya adalah Suara Tuhan, tidak lagi dianggap.
"Ini harus dihindari, para elit partai dan para stake holder pengambil kebijakan harus benar-benar mendengar aspirasi rakyat," ucap Agus.
Agus Widjajanto mengkhawatirkan dampak sebagaimana pernah ditegaskan Jeffry A Winters, yakni timbulnya rasa apatis disebagian besar kalangan masyarakat terhadap proses demokrasi dan politik itu sendiri.
Jika itu terjadi, maka tidak ada lagi negara demokrasi dan dengannya pula esensi negara hukum menjadi tidak jelas.
“Sistem yang ditimbulkan oleh pengaruh kekuasaan oligarki bisa menimbulkan dampak serius, kolapsnya negara hukum serta prinsip-prinsip demokrasi akan mati. Apa yang tertuang dalam nilai-nilai Pancasila juga hanya tinggal slogan tertulis, dimana ruhnya demokrasi dan negara hukum sesuai kontitusi telah tiada lagi," bebernya.
Sebab itu, Agus Widjajanto berpesan agar semua pihak yang mengikuti kontestasi dalam Pemilu 2024 untuk senantiasa menjunjung tinggi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei) bagi Kedaulatan dan keadilan bersama.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari