jpnn.com, JAKARTA - Praktisi Hukum dan Pemerhati Polsosbud Agus Widjajanto memberikan gambaran atau analisinya seputar hajat demokrasi lima tahunan, yaitu Pemilu, Pilpres, dan Pilkda serentak 2024.
"Pemilu dalam demokrasi merupakan bentuk kedaulatan masyarakat yang mengangkat pejabat terpilih,” ujar Agus dalam keterangan tertulis pada Rabu (11/10/2023).
BACA JUGA: Hasyim: Tensi Pemilu 2024 Tidak Seperti yang Lalu
Lebih lanjut, Agus menyampaikan situasi politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak Tahun 2024 terus menghangat, utamanya terkait pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Hingga Rabu, 11 Oktober 2023, atau 8 hari menjelang pendaftaran bakal capres-cawapres pada 19-25 Oktober mendatang, ada tiga poros koalisi yang berpotensi besar mengikuti kontestasi pilpres.
BACA JUGA: Wilayah Kodam Cenderawasih Berkategori Merah Terkait Pemilu 2024
Ketiganya adalah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Dari ketiga nama tersebut, hanya Anies Baswedan yang sudah ada pendampingnya yakni Abdul Muhaimin Iskandar yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sementara Prabowo dan Ganjar belum memutuskan siapa pendampingnya.
BACA JUGA: Jangan Sampai Kasus Pilkada 2019 di Daerah ini Terulang Pada Pemilu 2024
Selain Pilpres yang menentukan kepemimpinan nasional lima tahun mendatang, Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2024 sebenarnya tidak kalah penting. Sayangnya, di tingkat nasional isu tersebut kurang mendapatkan perhatian.
Publik, terutama di media sosial, lebih asik melihat dan memantau dinamika politik capres dan cawapres.
Padahal, Pilkada Serentak 2024 merupakan pertama kalinya melibatkan seluruh provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia terkecuali Propinsi DIY yang gubernurnya tidak dipilih.
Pelaksanaan pemungutan suara untuk Pilkada Serentak 2024 pada 27 November 2024 secara total akan diikuti 548 daerah dengan rincian 38 provinsi, 415 kabupaten, dan 98 kota.
Bagaimana sesungguhnya rakyat mengambil sikap dalam menghadapi Pemilu 2024?
Agus mengungkapkan Pemilu merupakan elemen yang sangat penting dalam demokrasi dan dalam proses penyelenggaraannya sebagai sarana demokrasi harus tunduk pada supremasi hukum.
Salah satu parameter mengukur demokratis atau tidaknya suatu negara adalah bagaimana negara itu melakukan proses pemilihannya.
Pemilu merupakan bagian sah dari lembaga demokrasi dan sebagai parameter berfungsinya forum politik demokrasi.
Melalui pemilu, suara dan kehendak rakyat menjadi dasar penentuan jabatan publik. Suatu sistem politik dikatakan demokratis jika memiliki prosedur pemilihan umum yang teratur untuk sirkulasi elit.
"Pemilu sebagai proses politik rentan terhadap pelanggaran aturan pemilu, khususnya kecurangan pemilu, yang dapat mempengaruhi kampanye pemilu, kejahatan pemilu, kebijakan moneter, dan hasil pemilu. Pelanggaran yang berujung pada sengketa pemilu," urai Agus Widjajanto.
Terkait hal ini pula, jebolan Magister Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) itu mengingatkan agar 'pengadil' sengketa Pemilu yaitu Mahkamah Konstitusi membatasi diri pada kasus-kasus dengan komponen politik yang kuat agar tidak dipolitisasi oleh kekuatan lain.
Agus meyakini jika hakim konstitusi akan menjaga keseimbangan antara keadilan, transparansi, dan ketepatan waktu dalam menyelesaikan gugatan hasil pemilu. Meski diperkirakan jumlah gugatan hasil pemilu akan meningkat di Pemilu 2024.
Dia menyebut pula kegagalan MK mengadili sengketa hasil pemilu secara adil dan tidak memihak akan memiliki dampak politik yang serius.
"MK itu bukan hanya penjaga konstitusi, tetapi juga penjaga demokrasi. Dalam membela administrasi, kecurangan pemilu, dan kontroversi di tahapan pemilu sebagai alasan keberatan pemohon (penggugat)," ujar Agus.
Agus melanjutkan kejahatan pemilu sebenarnya dapat diselesaikan melalui sistem peradilan pidana, termasuk kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Di sisi lain, pelanggaran administratif dapat diselesaikan oleh komisi pemilihan lokal.
Sementara perselisihan dalam proses atau tahapan pemilu diselesaikan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Komisi Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Namun karena pelanggaran struktural, sistemik, dan merajalela, maka harus dipertimbangkan dibentuknya peradilan khusus pemilu.
Peradilan khusus pemilu ini nantinya mengadili pelanggaran pemilu secara sistemik, khususnya Pemilu Kepala Daerah dimana selama ini melalui proses gugatan di PTUN yang ada di propinsi. Hal tersebut sangat menyulitkan pencari keadilan dalam kaitan asas peradilan yang cepat dan biaya murah.
"Pendapat ini harus kita dukung. Mengingat sengketa pemilu merupakan sengketa yang sensitif dan membutuhkan partisipasi masyarakat yang luas, penyelesaian sengketa pemilu secara hukum di daerah diharapkan dapat menjadi preseden yang baik bagi penegakan hukum di Indonesia," ucapnya.
Pria kelahiran Kudus Jawa Tengah itu menambahkan, apabila sengketa serupa berhasil diselesaikan oleh Peradilan khusus pemilu maka proses penguatan demokrasi Indonesia akan menjadi lebih jelas.
Oleh karena itu, Agus mengingatkan bahwa "rule of law" sebagai satu-satunya prinsip demokrasi harus diikuti oleh semua elemen.(fri/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Friederich Batari