jpnn.com, JAKARTA - Ketua SETARA Institute Hendardi menyikapi pendekatan restorative justice (RJ) di Polri dan Kejaksaan Agung dalam penanganan perkara pidana.
“Institusi Polri dan Kejaksaan Agung dalam waktu yang bersamaan merilis kinerja pengarusutamaan pendekatan restorative justice (RJ) dalam penanganan perkara pidana,” Hendardi dalam keterangan tertulis diterima Kamis (27/1/2022).
BACA JUGA: 387 Kasus di Polres Karawang Diselesaikan dengan Restorative Justice
Dia menjelaskan Polri merilis 11.811 kasus diselesaikan dengan pendekatan restorative justice sepanjang tahun 2021. Sedangkan Jaksa Agung merilis 53 kasus sepanjang Januari 2022 juga diselesaikan dengan pendekatan yang sama.
Hendardi menilai langkah dua institusi penegak hukum ini merupakan salah satu ikhtiar untuk menangani problem akut overcapacity lembaga pemasyarakatan, akibat orientasi penegakan hukum yang memusat pada tujuan retributif, yakni keadilan dalam bentuk pembalasan yang berujung pada pemidanaan.
BACA JUGA: Sepanjang 2021, Polri Selesaikan 11.811 Perkara Melalui Restorative Justice
“Ikhtiar serupa sempat didorong oleh berbagai kalangan untuk menyusun suatu regulasi setingkat Peraturan Presiden Tentang Reorientasi Penyidikan Perkara Pidana di Kepolisian, tetapi hingga hari ini tidak tuntas,” ujar Hendardi.
Aktivis Hak Asasi Manusia itu mengatakan penerapan restorative justice tanpa ketentuan yang jelas dan penerapan yang akuntabel memang bisa jadi rentan dan menjadi instrumen transaksional.
BACA JUGA: Jaksa Agung Tegaskan Restorative Justice Tak Boleh Sisakan Dendam
“Kekhawatiran ini juga yang diingatkan oleh Kapolri agar keadilan restoratif tidak menjadi ajang transkasional,” tegas Hendardi.
Menurut Hendardi, pekerjaan selanjutnya dari Polri adalah bagaimana Polri akan mengontrol penerapan pendekatan ini, sehingga tidak menjadi ruang negosiasi pihak berperkara dan memastikan penerapannya selektif, berkeadilan dan akuntabel.
Sedangkan di Kejaksaan Agung, yang juga memiliki aturan tersendiri, restorative justice bisa dimaknai sebagai koreksi atas langkah kepolisian yang telanjur melakukan proses penyidikan atas suatu perkara, padahal bisa diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.
Sebagai pengendali kebijakan penuntutan, sesuai asas dominus litis, peran Kejaksaan sangat strategis untuk memastikan bahwa limpahan perkara dari kepolisian bukanlah sesuatu yang taken for granted.
Dengan demikian, kata Hendardi, penerapan RJ di tubuh Kejaksaan berkontribusi signifikan pada penguatan sistem peradilan pidana.
Dia menyebut untuk memperkuat penerapan keadilan restoratif ini, sejumlah regulasi perlu disusun, sambil menunggu pengaturan yang lebih kokoh sebagaimana telah direncanakan diadopsi dalam RUU KUHAP.
“Penerapan prinsip RJ ini bukan melulu mengandalkan diskresi Kapolri atau Jaksa Agung, tetapi harus berpedoman pada ukuran-ukuran yang disepakati, sehingga potensi-potensi abusif atas pendekatan ini bisa dihindari,” tegas Hendardi.(fri/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gempar, Honorer Tua Bisa Jadi CPNS, Honorer K2 Ogah Ikut Tes PPPK
Redaktur & Reporter : Friederich