Analisis Mantan Sesmil Kepresidenan soal Peluang Memakzulkan Jokowi Saat Ini

Kamis, 04 Juni 2020 – 10:28 WIB
PIDATO PERDANA: Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pidatonya yang perdana sebagai Presiden RI 2019-2024 dalam Sidang Paripurna MPR, Minggu (20/10). Foto: Ricardo/JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin menyatakan bahwa pemakzulan terhadap presiden bukan hal mudah. Sebab, ada berbagai tahapan yang harus dilalui sebelum memakzulkan presiden hasil pemilihan langsung oleh rakyat.

"Tidak mudah menurunkan presiden pilihan rakyat. Proses pemakzulan presiden cukup sulit," kata Hasanuddin melalui layanan pesan, Kamis (4/6).

BACA JUGA: Respons Ujang Komarudin Terkait Wacana Pemakzulan Presiden

Politikus PDI Perjuangan itu menyampaikan hal tersebut menyusul maraknya wacana tentang pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhir-akhir ini. Wacana itu ditanggapi berbagai kalangan, termasuk mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.

Hasanuddin menjelaskan, proses pemakzulan terhadap presiden harus didahului dengan penggunaan hak menyatakan pendapat (HMP) oleh DPR. Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) sudah mengatur soal penggunaan HMP.

BACA JUGA: Landasan Pemikiran Din Syamsuddin soal Syarat Memakzulkan Pemimpin

Menyitat Pasal 79 UU MD3, Hasanuddin menyatakan bahwa HMP merupakan hak DPR untuk menyikapi kebijakan pemerintah ataupun kejadian luar biasa yang terjadi di dalam maupun mancanegara. HMP juga untuk menanggapi dugaan bahwa presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela.

"Hak menyatakan pendapat ini diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR. Bila memenuhi persyaratan administrasi dapat dilanjutkan dalam sidang paripurna," tutur Hasanuddin.

BACA JUGA: Mantan Sesmil Sayangkan Tak Ada Menteri Jadi Bumper bagi Presiden Jokowi

Mantan sekretaris militer kepresidenan itu menegaskan, ada syarat lain untuk meloloskan usul penggunaan HMP sebagaimana diatur Pasal 210 ayat (3) UU MD3, yakni diputuskan dalam rapat paripurna yang dihadiri dua pertiga dari seluruh anggota DPR. Selain itu, usul itu harus disetujui minimal dua pertiga dari anggota DPR yang mengikuti rapat paripurna.

Baru setelah ada persetujuan dalam rapat paripurna, DPR menindaklanjutinya dengan pembentukan panitia khusus (pansus). Setelah pansus bekerja paling lama 60 hari, hasilnya lantas dilaporkan dalam rapat paripurna DPR.

Lagi-lagi, UU MD3 juga mengatur tentang pengambilan keputusan atas laporan hasil pansus dalam rapat paripurna. Hasanuddin menegaskan, rapat paripurna itu harus dihadiri minimal dua pertiga dari jumlah seluruh anggota DPR.

Selanjutnya, hasil kerja pansus bisa dilanjutkan ke proses berikutnya jika disetujui sekurang-kuranya dua pertiga dari anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna. Jika hasil kerja pansus itu diterima, DPR meneruskannya ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Bila MK menyatakan presiden terbukti melanggar undang-undang, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk mengusulkan pemakzulan kepada MPR. “Setelah itu MPR melakukan sidang paripurna untuk memutuskan usul DPR tentang pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden,” sambung Hasanuddin.

Usul pemberhentian presiden pun baru bisa dibahas oleh MPR melalui sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya tiga perempat dari seluruh anggotanya. Selanjutnya, usul pemakzulan bisa diloloskan jika disetujui dua pertiga dari anggota MPR yang menghadiri rapat paripurna.

Namun, Hasanuddin menegaskan konfigurasi koalisi partai politik saat ini membuat pemakzulan terhadap presiden nyaris mustahil. "Melihat komposisi koalisi fraksi-fraksi pendukung presiden di DPR, rasanya seperti mimpi di siang bolong kalau kemudian ada yang bercita-cita melengserkan presiden pilihan rakyat," tegasnya.

Pensiunan TNI dengan pangkat terakhir mayor jenderal itu juga mewanti-wanti pihak yang menyuarakan pemakzulan tidak menggelar aksi anarkistis di jalanan. Sebab, aksi anarkistis berarti melangar undang-undang.

"Inilah demokrasi yang kita sepakati dan menjadi kesepakatan nasional. Diskusi ilmiah dengan norma akademis mengenai pemakzulan sih boleh-boleh saja karena dijamin menurut UU, tetapi kalau aksi anarkistis minta presiden diturunkan di jalanan itu melanggar ketentuan," pungkas mantan ketua DPD PDIP Jawa Barat tersebut.(boy/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler