Analisis Pakar Struktur Beton soal Selasar Gedung BEI Ambruk

Selasa, 16 Januari 2018 – 05:40 WIB
Selasar gedung Tower II gedung BEI Jakarta, ambruk, Senin (15/1). Foto: Ismail Pohan/INDOPOS

jpnn.com, JAKARTA - Banyak masyarakat yang bertanya, mengapa selasar gedung BEI bisa ambruk seperti itu?

Belum ada jawaban pasti. Yang jelas, letak kesalahan dalam pembangunan mezzanine gedung Bursa Efek Indonesia baru akan diketahui setelah proses investigasi.

BACA JUGA: OJK Pastikan Aktivitas BEI Hari Ini Tetap Seperti Biasa

Namun, pada dasarnya, pembangunan struktur mezzanine memiliki tata cara yang harus benar-benar diperhatikan agar aman. Bukan hanya soal eksekusi pengerjaannya semata.

Pakar ilmu struktur beton ITS Prof Tavio menjelaskan, ada dua jenis mezzanine. Pertama, dibangun bersamaan dengan bangunan utama.

BACA JUGA: Selasar Gedung BEI Ambruk, Suci & Nina Patah Kaki, Oh...Deka

Kedua, dibangun setelah bangunan utama selesai dan beroperasi. Biasanya, mezzanine dengan tipe ekstensi tersebut menjadi tambahan karena kebutuhan dalam penggunaan gedung.

Proses pertama adalah perencanaan. Semua kebutuhan harus dihitung secara detail oleh konsultan perencana, dan diakhiri dengan membuat gambar rencana.

BACA JUGA: Operasional Gedung BEI Tetap Dibuka Besok

Oleh owner, gambar rencana itu ditenderkan untuk dieksekusi pembangunannya. Konsultan perencana harus patuh pada standar.

’’Kita sudah punya standar SNI. Ada yang mengatur struktur baja, beton, gempa, dinamik, macem-macem,’’ terangnya saat dikonfirmasi kemarin.

Kemudian, ketika sampai tahap konstruksi, kontrakor wajib patuh pada gambar yang didesain oleh perencana. Termasuk di dalamnya perhitungan kekuatan struktur. ’’Seringkali titik lemahnya di situ (kekuatan struktur),’’ lanjutnya.

Kalaupun ada perubahan dalam pelaksanaan pembangunan, harus dikonsultasikan terlebih dahulu konsultan perencana. Perubahan itu harus disetujui kedua pihak, tidak bisa diputuskan sendiri.

Kemudian, harus ada pula laporan hasil pengujian material yang digunakan. Betonnya, bajanya, harus diuji terlebih dahulu.

Tavio mempertanyakan apakah mezzanine BEI itu merupakan bangunan tambahan yang dibangun belakangan. Bila bangunan tambahan, tentu ada beberapa hal tambahan yang harus diuji.

’’Apakah kekuatan angkur (paku penghubung struktur yang bersisian) yang ditanam di betonnya sudah memadai, itu harus ada uji cabutnya,’’ tuturnya.

Sejumlah kejadian struktur bangunan runtuh tidak melulu akibat kesalahan saat pembangunan. Tavio mencontohkan jembatan Kukar di Kutai Kartanegara.

Setelah diinvestigasi, kesalahan terletak pada proses pemeliharaan jembatan. Atau kejadian di pasar Tanah Abang yang ternyata salah di bagian rancangan.

Yang jelas, untuk saat ini belum bisa disimpulkan di mana letak kesalahan dalam pembangunan mezzanine tersebut sehingga runtuh. Apalagi, runtuhnya saat dijejali banyak orang.

Sekilas, orang akan mengira runtuhnya mezzanine itu akibat overload. Padahal, tidak sesederhana itu.

Kabel yang berdiri di sisi luar mezzanine BEI misalnya, harus dipastikan apakah itu memang berfungsi sebagai suspended cable alias kabel penggantung.

Bila benar, perlu dicek apakah pemeliharaannya sudah tepat. Mungkin kabelnya kendor sehingga turun.

Alasan overload pun saat ini susah untuk diterima. ’’Apapun alasannya overload, dalam perencanaan kita itu sudah ada namanya faktor beban, untuk mengakomodasi kelebihan beban,’’ jelas Guru besar ke-106 ITS itu.

Yang paling besar faktor bebannya adalah beban hidup, atau orang yang bergerak. Itu faktornya besar, sampai 1,6 kali dari beban hidup yang direncanakan.

Misalnya sebuah mezzanine direncanakan mampu menahan beban 10 ton, maka saat selesai dikerjakan, mezzanine itu harus mampu menahan beban hingga 16 ton. (byu)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sandi Akui Pengawasan Gedung Tinggi Kurang Ketat


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler