jpnn.com, JAKARTA - Analis Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago memberikan catatan dan analisis terkait aspek ekonomi dan poltik dalam Pilkada serentak 2020.
“Pilkada itu mahal kawan. Butuh cost politik yang mahal memasuki tahun politik. Tensi politik di 2020 mulai memanas,” kata Pangi di Jakarta, Jumat (18/9/2020).
BACA JUGA: Abraham Liyanto: Sudah Waktunya NTT Diatur UU Tersendiri
Pangi menilai partai politik mulai mengambil ancang-ancang untuk menyambut tahun politik 2020 meskipun di tengah pandemi.
Ia menilai memang bertarung dalam pilkada kondisi sekarang tak mudah. Butuh kuat-kuatan dalam daya tahan tubuh calon kepala daerah, atur napas, bertahan dalam soal amunisi dan logistik.
BACA JUGA: Lima Kendaraan Penyemprot Disinfektan Tiba di NTT, Begini Penjelasan Ansy Lema
Pilkada mahal, mulai dari cost perahu parpol atau istilah lain mahar politik. Cost konsultan politik dan paket survei. Biaya ngopi, bantuan sembako dan bantuan bangunan seperti semen ketika face to face dengan warga saat melakukan kampanye.
Selain itu, kata Pangi, biaya alat peraga seperti spanduk dan baliho. Belum lagi ada konstituen yang sedang kesusahan meminta bantuan soal BPJS, rekening listrik dan kredit motor yang nunggak bayar. Istri mereka yang melahirkan dan meminta tolong kepada calon kepala daerah untuk membelikan baju seragam sekolah, seragam bola, baju seragam majelis taklim. Jadi pilkada itu mahal banget kawan.
BACA JUGA: KPK Didesak Ambil Alih Kasus Dugaan Korupsi Bawang Merah di Polda NTT
“Maju pilkada kalau uang pas-pasan lebih baik enggak usah karena biaya enggak sedikit. Menurut saya maju bertarung dalam kontestasi elektoral pilkada, calon yang betul-betul punya banyak kelebihan uang, sudah binggung habisin duit, sehingga kalau memberi bantuan anggap saja zakat, uang yang nanti dihabiskan begitu saja, tidak dipungut kembali,” katanya.
Menurutnya, syukur-syukur terpilih namun tidak berpikir balik modal, alias mengembalikan modal yang dihabiskan waktu kampanye, sehingga fokus memikirkan rakyat. Bukan malah sibuk berpikir bagaimana balik modal. Membayar utang ke cukong yang sudah mendanai calon kepala daerah terpilih.
Merdeka itu mahal sahabat sehingga sulit betul menjadi kepala daerah yang tidak tersandera kepentingan dan agenda cukong. Lebih berbahagia dan berkelas, Kepala daerah yang mencintai rakyatnya dan rakyat mencintainya, ini amatlah langka.
Yang merusak kualitas demokrasi kita adalah, duit pas-pasan maju menjadi calon kepala daerah. Lalu cari sponsor atau cukong, lalu bicara belum balik modal, ketika hampir 4 tahun menjabat kepala daerah dengan gaji 10 juta, akhirnya stres. Modal kampanye belum balik, sehingga pada akhirnya berfikir jalan pendek dan singkat untuk melakukan korupsi. Ini yang membuat banyak kepala daerah kita tersandera kasus korupsi.
Memang, mahar politik sulit dibuktikan namun bisa dirasakan, karena terjadinya persekongkolan jahat antara pengusaha dengan penguasa, yang mana penguasa butuh modal kampanye pilkada namun dompet kere, pada saat yang sama pengusaha butuh kemudahan izin untuk usaha. Kawin silang antara penguasa dan pengusaha, konflik interest.
Mungkin pilkada di tengah Pandemi Carona bisa paket hemat, karena terbatas kampanye face to face menemui komunitas dan konstituen secara langsung. Lebih banyak bentuk kampaye daring, mobile campaign, kampanye berbasis media sosial berupa main di udara, kampanye berbasis digital dan online.
“Mereka berani gelontorkan 20 persen modal kampanye, nanti ketika jagoannya menang, mereka punya MoU, dapat izin tambang denagn mudah untuk mengeksplorasi sumber daya alam seperti tambang, batu bara, minyak, gas, mineral dan lain-lain yang di daerah tersebut, bandar politik bisa memperoleh keutungan 80 persen. Sementara mereka hanya mengelontorkan 20 persen saja di awal sebagai modal kampanye untuk calon kepala daerah yang didanai cukong tersebut,” katanya.
Pangi mengingatkan tidak ada makan siang gratis (no free lunch). Ujung dari bantuan modal kampanye dari cukong tadi adalah bagaimana izin yang mudah didapatkan pengusaha (pemodal) tetap cukong dan bandar politik untung besar.
Sementara yang tertinggal adalah kerusakan alam, sisa penambangan, kerusakan alam, rakyat di daerah tersebut tetap tidak berubah, tetap saja miskin. Pemodal dan cukong yang tetap menang. Lagi-lagi rakyat yang dirugikan.(fri/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Friederich