jpnn.com, JAKARTA - Pertanyaan dalam Tes Wawasan Kebangsaan Komisi Pemberantasan Korupsi (TWK KPK) dan Indeks Moderasi Bernegara (IMB) yang dilakukan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dianggap janggal dan mengada-ada.
Merespons itu, pakar hukum administrasi negara Profesor Aidul Fitriciada menjawab dengan mengungkap adanya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 38 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN).
BACA JUGA: Teori Bang Hotman soal Operasi Intelijen di Balik TWK Pegawai KPK
Dijelaskan mantan Ketua Komisi Yudisial tersebut, kompetensi jabatan yang harus dimiliki oleh setiap ASN adalah kompetensi manajerial, kompetensi teknis, dan kompetensi sosial kultural.
"Terkait itu, ada hal yang harus dijawab oleh peserta tes, kemudian terkait kewajiban dasar menjaga ideologi Pancasila, setia dan mempertahankan UUD 1945, dan sebagainya," ungkap Prof. Aidul dalam Webinar Series Moya Institute bertajuk "Apakah Kemelut Kelompok 51 KPK Usai?", Selasa (29/6).
BACA JUGA: Daud Azhari Angkat Bicara soal TWK Pegawai KPK, Simak
Prof Aidul menambahkan, para pegawai KPK yang tidak lulus TWK kemungkinan hanya fokus pada kompetensi teknis di dalam bidang pemberantasan korupsi, ketika diuji kompetensi bidang kebangsaan bisa jadi dia tidak update.
Ketika ditanya apakah presiden tidak mempengaruhi dalam TWK KPK? Ia melihatnya dalam UU Nomor 5 Tahun 2014, dimana salah satu prinsip dasarnya itu sistem merit yang menilai berdasarkan kinerja dan kompetensi yang tidak dilihat dari SARA maupun latar belakang politik apapun.
BACA JUGA: Nurul Ghufron Buka-bukaan Penggagas Ide TWK Pegawai KPK
Presiden sebagai pejabat politik yang dipilih, dijelaskan Prof. Aidul, dia tidak boleh campur tangan terhadap birokrasi. Itu prinsip utama dalam negara demokrasi modern. Dalam eksekutif, pejabat politik tidak boleh masuk ke dalam birokrasi.
"Jadi ini harus dilihat Presiden sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) tertinggi, bukan berarti dia bisa mengintervensi sistem merit. Intervensi birokrasi di lingkungan KPK," jelasnya.
Secara personal, sambung dia, Presiden punya pengalaman pribadi yang bersentuhan dengan hal ini. "Anaknya yang nomor dua tidak lulus PNS. Anaknya saja tidak lulus PNS, masa' dia memperjuangakan yang 51, kan gak lucu," terang dia.
"Jadi ada sistem merit yang membatasi Presiden dan pemerintah sebagai pejabat politik terhadap pegawai di KPK," ucapnya.
Prof. Aidul menegaskan, KPK sebagai lembaga di tingkat eksekutif yang independen, dia juga tidak boleh dicampuri oleh intervensi Presiden (Eksekutif) maupun lembaga Legislatif dan Yudikatif.
Yang berwenang terhadap pegawai KPK itu, masih kata Prof. Aidul, ialah BKN. Bukan Pimpinan KPK yang merupakan Pejabat Negara. Dan Pejabat Negara tidak bisa masuk ke sistem ASN.
"Dalam konteks administrasi negara, tidak ada ruang untuk intervensi kepada ASN karena dibatasi sistem merit. Kalau Presiden juga masuk, dia bertentangan dengan UU. Kalau melanggar UU, dia melanggar sumpah jabatannya," urainya.
Ada yang lucu, masih kata Prof Aidul, di satu sisi menyerang Presiden karena dianggap melemahkan sistem KPK, tapi di satu sisi mendorong Presiden untuk campur tangan dalam urusan TWK KPK.
"Suatu sistem tidak boleh dinisbatkan pada personal pribadi. Apalagi birokrasi. Birokrasi modern itu betul-betu tidak boleh mengalami personalisasi. Dia seperti mesin, yang "tidak punya perasaan". Tapi ini kan sistem modern. Jadi kita tidak bicara apakah si A lebih baik dari yang lain. Apakah si A lebih heroik dari yang lain," ungkapnya.
Pengamat isu-isu strategis nasional Prof Imron Cotan menganggap, pertanyaan dalam TWK KPK merupakan teknik memaksa agar "kepala kura-kura" keluar dari sangkarnya, kemudian dinilai apakah dia memenuhi atau tidak memenuhi syarat.
"Teknik memberikan pertanyaan BKN dalam TWK KPK seperti itu, mengapa tidak terstandarisasi karena ingin individual, bukan komunal. Jadi spesifik kepada kecenderungannya. Jika pertanyaannya berbeda-beda, karena menyesuaikan data primer yang diterima tim," jelasnya.
Prof Imron menambahkan, teknik pertanyaan seperti itu sudah digunakan sejumlah stakeholders yang tingkat kesahihan dan kredibilitasnya tinggi. Terutama Dinas Psikologi Angkatan Darat.
"Saya salah satu produknya saat tes ASN Deplu waktu dulu. Mereka sudah membangun sistem yang bisa dibuktikan secara sainstifik yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan berdasarkan like atau dislike," ungkapnya.
TWK KPK dikatakan dia sudah ada dasar hukumnya: UU ASN No.5 Tahu 2014 dan juga Peraturan BKN No.26 Tahun 2019. Dia tidak diciptakan untuk mengeliminir atau memasukkan orang. Karena kasusnya terjadi setelah ada UU dan Peraturan BKN-nya.
Pakar hukum pidana Chudry Sitompul menilai TWK KPK polemiknya bisa diselesaikan secara elegan dalam Pengadilan. Jadi bukan KPK yang melaksanakan TWK, melainkan pemerintah. Dan itu lebih elegan.
"Jangan memberikan narasi yang belum tentu betul dan memancing emosi rakyat. Jadi agar lebih jelas, apakah TWK itu bertentangan dengan UU atau ada pelanggaran HAM," harap Chudry. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil