Teori Bang Hotman soal Operasi Intelijen di Balik TWK Pegawai KPK

Senin, 28 Juni 2021 – 23:31 WIB
Ilustrasi - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Foto: ANTARA

jpnn.com, JAKARTA - Kepala Satgas Pembelajaran Internal nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Hotman Tambunan menduga ada operasi intelijen di balik pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam proses alih status pegawai menjadi ASN. Alhasil, sejumlah pegawai KPK menjadi target dan disingkirkan dari lembaga antirasuah itu.

Meski demikian, Hotman enggan berspekulasi lebih dalam perihal dugaan tersebut lantaran belum menerima data hasil TWK para pegawai.

BACA JUGA: Terungkap, Inilah Instrumen TWK yang Dipakai BKN untuk Pegawai KPK

Diketahui, sebanyak 75 pegawai dinyatakan tidak lulus TWK. Dari jumlah itu, 51 pegawai terancam dipecat, sementara 24 lainnya bakal menjalani pendidikan dan pelatihan (diklat) wawasan kebangsaan.

"Mungkin kami harus bertanya dulu kali, ya, apakah TWK bagian dari operasi intelijen untuk singkirkan Pegawai KPK? Karena belum dapat bukti yang valid sekali," kata Hotman saat dikonfirmasi, Senin (28/6).

BACA JUGA: Dukung Pemberantasan Korupsi, Kompan Minta 75 Pegawai KPK Terima Hasil TWK

Hotman menjelaskan, pelaksanaan TWK diatur dalam Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021. Pasal 5 ayat (4) beleid tersebut menyatakan penyelenggaraan tes dilakukan KPK bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Hotman melanjutkan, BKN kemudian menggandeng Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk melakukan profiling pegawai KPK. Pelibatan ketiga lembaga intelijen tersebut, kata dia, tanpa sepengetahuan KPK.

BACA JUGA: Penyelenggara TWK KPK itu BKN, Komnas HAM Kenapa Malah Memanggil BIN ya?

"BKN mengatakan karena pegawai banyak waktu mepet maka tidak sanggup hanya BKN melakukan profiling, maka diajak BKN lah BNPT, BIN, BAIS. Pelibatan mereka juga tidak atas pengetahuan KPK. Begitu formalnya. Tetapi apa yang terjadi di balik itu, kan, belum tentu seperti itu," kata Hotman.

Menurut Hotman, pelibatan lembaga intelijen dalam proses TWK memiliki kejanggalan. Sebab, kata dia, lembaga intelijen seakan menjadi institusi yang menentukan kelulusan pegawai KPK dalam TWK.

Hal ini, sambungnya, dibuktikan dengan penuturan Kepala BKN Bima Haria Wibisana yang menekankan bahwa pihaknya tidak memiliki dokumen terkait pelaksanaan TWK.

"Dan diberikan ke BKN hasilnya dalam bentuk tersegel juga. Begitu kan kata Kepala BKN, sehingga memang menjadi sulit untuk memverifikasi bagaimana mereka menentukan kriteria," katanya.

Hotman melanjutkan, penentu kelulusan TWK pegawai KPK seharusnya lembaga antirasuah itu sendiri. Sebab, TWK digelar sebagai salah satu syarat alih status, bukan pengadaan ASN.

"Kalau pengadaan ASN memang BKN, panitia seleksi yang terdiri dari berbagai lembaga, tepatnya yang menentukan lulus tak lulus. Tetapi memang sengaja, kan, lempar lemparan dulu antara KPK, BKN, lembaga intelijen," ucapnya.

Dia menyatakan, modus saling melempar tanggung jawab seperti yang dilakukan KPK, BKN, dan lembaga intelijen biasa dilakukan apabila suatu upaya penyamaran operasi terancam terbongkar. "Itu teori biasa dalam operasi," imbuhnya.

Dia mengatakan, data intelijen seharusnya digunakan sebagai petunjuk dan langkah antisipasi. Dirinya menuturkan, data intelijen tidak boleh digunakan sebagai bukti di ranah penegakan hukum lantaran mengandung informasi yang bias.

Data tersebut harus dikonfirmasi kebenarannya. Bahkan, katanya, hasil konfirmasi bisa dibawa ke pengadilan untuk dilakukan pembuktian.

"Data intelijen itu, kan, banyak sekali biasnya," kata dia.

Menurutnya, pihak yang memiliki kewenangan untuk membuka hasil tes TWK adalah KPK. Karena, berdasarkan kontrak kerja sama, seluruh data menyangkut TWK akan diberikan BKN kepada KPK.

"Dan KPK bisa menggunakannya (data TWK) untuk kepentingan apa saja tanpa perlu persetujuan BKN," tandasnya. (tan/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler