jpnn.com, JAKARTA - Direktur Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Eko Riyadi menanggapi rekomendasi Komnas HAM agar kasus tewasnya empat dari enam Laskar Front Pembela Islam (FPI) diproses di pengadilan pidana.
Eko mengatakan, rekomendasi seperti itu kemungkinan karena Komnas HAM menilai kasus tewasnya Laskar FPI tidak memenuhi unsur pelanggaran HAM berat.
"Kenapa tidak memilih menggunakan mekanisme ini, patut diduga Komnas HAM merasa bahwa peristiwa terbunuhnya laskar FPI tidak memenuhi unsur sebagaimana diatur UU Nomor 26 Tahun 2000 mengenai pelanggaran berat hak asasi manusia." katanya dalam kanal YouTube Bravos Radio Indonesia.
Oleh karena itu, Komnas HAM lebih memilih untuk menggunakan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
BACA JUGA: Penembakan Laskar FPI, Tim Khusus Bentukan Kapolri Segera Setor Laporan
Di mana, dari hasil penyelidikan dan Komnas HAM memutuskan telah terjadi pelanggaran terhadap hak untuk hidup.
"Jadi ada pelanggaran hak untuk hidup, itu yang kemudian disebut sebagai unlawful killing atau pembunuhan di luar batas hukum. Maka, kemudian mekanisme yang paling memungkinkan adalah melalui mekanisme pidana," sambungnya.
BACA JUGA: Kapten Afwan Sempat Mentransfer Uang untuk Ikhsan
Artinya, polisi harus melakukan penyelidikan dan penyidikan atas orang-orang yang diduga bertanggung jawab atas setidaknya terbunuhnya empat orang anggota FPI yang ada di mobil polisi saat itu.
"Kira-kira itu cara membaca rekomendasinya," ujar Eko Riyadi.
Ditambahkannya, terkait mengapa Komnas HAM memilih untuk tidak menggunakan mekanisme yang tersedia di dalam UU Nomor 26 Tahun 2000, karena ada syarat-syarat sebuah peristiwa masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.
Dalam kasus terbunuhnya enam anggota laskar FPI Komnas HAM mempertimbangan dua kemungkinan.
"Jadi memang ada dua kemungkinan dalam kasus terbunuhnya enam anggota FPI kemarin, yang pertama adalah menggunakan mekanisme pengadilan HAM sebagaimana diatur di UU 26 Tahun 2000 tentang pelanggaran HAM berat." ujarnya.
Undang-undang ini mengakui ada dua delik, yaitu genosida dan kejahatan atas kemanusiaan.
Genosida adalah pembasmian etnis, sedangkan yang kedua adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
"Nah, kejahatan terhadap kemanusiaan itu ada beberapa syarat atau unsur yang harus terpenuhi, yang pertama adalah serangannya itu harus meluas dan sistematis," terangnya.
Meluas itu artinya dilakukan di banyak tempat dan jumlahnya banyak.
Sistematis itu artinya ada mata rantai komando yang harus dibuktikan.
Nah, serangannya itu kata Eko Riyadi, bisa membunuh, bisa menyebabkan penderitaan misalnya penganiayaan dan seterusnya.
"Kemungkinan dalam kasus FPI hal itu tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2000."
Ditegaskannya, tugas Komnas HAM belum selesai, karena harus memastikan agar kepolisian mengikuti rekomendasi yang dibuat.
Juga harus tetap mengawasi proses penyelidikan dan penyidikan bahkan hingga penuntutan. (esy/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad