jpnn.com, JAKARTA - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyoroti kematian wanita asal Jawa Barat, Dini Sera Afrianti alias DSA (27) yang tewas dianiaya sang kekasih.
Tersangkanya ialah Gregorius Ronald Tannur alias GRT (31), anak anggota DPR RI Fraksi PKB Edward Tannur. Konon pelaku dan korban sudah menjalin asmara lima bulan terakhir.
BACA JUGA: Detik-Detik Dini Dianiaya hingga Tewas oleh Anak Anggota DPR Ini, Ya Tuhan
Reza pun menyoroti keputusan polisi menetapkan GRT menjadi tersangka penganiayaan hingga hilangnya nyawa seseorang.
BACA JUGA: Dini Sera Afrianti Tewas, Gregorius Ronald Tannur Anak Anggota DPR RI Resmi Jadi Tersangka
Penyidik Polrestabes Surabaya menetapkan GRT sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 351 Ayat (3) KUHP dan atau Pasal 359 KUHP dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.
"Itu berarti, GRT sebatas ditersangkakan sebagai pelaku penganiayaan dan atau kelalaian yang mengakibatkan korbannya meninggal dunia," ujar Reza dikutip dari keterangan yang diterima JPNN.com, Sabtu (6/10).
BACA JUGA: ART Soroti Foto Ketua KPK Firli Bahuri dan Mentan SYL, Hmmm
Namun, Reza mengajak publik mencermati rangkaian perilaku kekerasan oleh GRT terhadap sang kekasih yang diketahui berstatus janda tersebut.
Berdasarkan urutan kekerasan tersebut, kata Reza, terindikasi bahwa perilaku kekerasan GRT bereskalasi. Dari menyasar organ tubuh bagian bawah (kaki) ke organ tubuh bagian atas (kepala).
"Dari sebatas tangan kosong ke penggunaan alat yang tidak perlu dimanipulasi (botol), dan berlanjut ke penggunaan alat yang perlu dimanipulasi (mobil)," tuturnya.
Reza menyebut eskalasi kekerasan sedemikian rupa, tambahan lagi karena tidak ada yang meleset dari organ vital korban serta terdapat jeda antara menabrak dan episode kekerasan sebelumnya, mengindikasikan GRT sebenarnya berada dalam tingkat kesadaran yang memadai baginya untuk meredam atau bahkan menghentikan perbuatannya.
"Namun, alih-alih menyetop, dalam kondisi kesadaran tersebut GRT justru menaikkan intensitas kekerasan terhadap sasaran," ucap penyandang gelar MCrim dari University of Melbourne Australia itu.
Hal itu dinilai Reza menjadi penanda bahwa GRT sengaja tidak memfungsikan kontrol dirinya untuk menahan atau bahkan menghentikan serangan, tetapi justru memfungsikan kontrol dirinya untuk meneruskan bahkan memperberat perilaku kekerasannya.
Dengan kondisi kesadaran dan aktivasi kontrol sedemikian rupa, tuturnya, patut diduga bahwa GRT pun mampu untuk sampai pada pemikiran bahwa dia akan melakukan perbuatan yang dapat menewaskan korban.
"Dengan kata lain, diperkirakan bahwa pada waktu itu di kepala GRT sudah muncul pemikiran atau imajinasi tentang kematian korban," ujar pria yang pernah mengajar di STIK/PTIK itu.
Pada momen ketika pemikiran atau imajinasi kematian DSA itu muncul dalam benak GRT, katanya, maka dapat ditafsirkan lengkap alur perbuatan GRT di mana perilaku kekerasan bereskalasi dan disertai dengan imajinasi tentang kematian sasaran.
"Atas dasar itu, Polrestabes Surabaya patut mendalami kemungkinan penerapan Pasal 338 KUHP (tentang pembunuhan)," kata Reza Indragiri.
Oleh karena itu, Reza berpendapat yang perlu diselidiki adalah ada tidaknya kontrol diri sebagai perwujudan kesadaran GRT.
Untuk memastikannya, perlu ditemukan pola eskalasi perilaku kekerasan GRT terhadap sasaran, DSA. Lalu, di samping rentang waktu kekerasan secara keseluruhan, cek pula interval antara episode kekerasan yang satu dan lainnya.
Kemudian, periksa ponsel guna memantapkan ada tidaknya pesan atau komunikasi yang menggenapi eskalasi kekerasan GRT terhadap DSA.
"Maaf, periksa juga apakah DSA dalam keadaan hamil atau kondisi-kondisi fisik lainnya yang bisa menjadi pretext bagi GRT untuk melenyapkan DSA," tuturnya.
Terakhir, polisi perlu menakar kadar alkohol dalam tubuh GRT yang jadi tersangka atas kematian korban.
"Apakah kadar alkohol tersebut berada pada level yang masih memungkinkan dia melakukan kontrol terhadap pikiran dan perilakunya sendiri," kata Reza Indragiri.(fat/jpnn.com)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam