jpnn.com - JAKARTA - Mantan Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Anas Urbaningrum yang kini menjadi terdakwa perkara korupsi menyatakan bahwa sejumlah tanah dan bangunan yang didakwakan kepadanya sebagai tindak pidana pencucian uang bukanlah berasal dari Muhammad Nazaruddin. Hal ini disampaikan Anas saat membacakan nota pembelaan atau pledoi pribadi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (18/9).
Anas menjelaskan, tanah di Jalan Teluk Semangka C9 Nomor 1 Duren Sawit, Jakarta Timur dibelinya dengan harga Rp 3,3 miliar dari Reny Sari Kurniasih. Uang untuk membeli tanah itu berasal dari pemilik Sanex Steel, Tan Harry Tantono alias Ayung. Hal ini sesuai keterangan Carrel Ticualu, Nurachmad Rusdam dan Hutomo Agus Subekti yang pernah dihadirkan di dalam persidangan.
BACA JUGA: Antara Pemuda, Keterampilan dan Persaingan Global
"Bukan dibeli dari dana M. Nazaruddin atau Permai Group atau dari dana sisa Kongres Partai Demokrat di Bandung," kata Anas dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (18/9).
Sedangkan tanah-tanah di Jalan Selat Makassar Duren Sawit yang kemudian untuk markas alumni Pondok Pesantren Krapyak di Jakarta, maupun tanah di Mantrijeron Yogyakarta dan Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta, kata Anas, dibeli oleh mertuanya, KH Attabik Ali untuk kepentingan pengembangan pesantren. Uang untuk membeli tanah-tanah itu merupakan dari hasil penjualan kamus dan bantuan-bantuan para tokoh.
BACA JUGA: Anas Anggap Tuntutan Pencabutan Hak Politik Tak Berdasar
Menurut Anas, tanah-tanah itu dibeli dengan mata uang dolar Amerika Serikat (USD), rupiah, emas batangan dan tanah yang lokasinya agak jauh dari kompleks Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta yang dikelola Attabik. "Sehingga lebih baik untuk dilepas sebagai bagian dari pembayaran tanah yang berbatasan langsung dengan tanah dan bangunan pesantren," ucapnya.
Hanya saja, Anas mengakui ada kelemahan dari sisi administrasi yang menjadi bagian dari tradisi kehidupan pesantren. Meski begitu, kelemahan administrasi itu bukanlah alasan untuk menganggapnya sebagai tindak pidana pencucian uang.
BACA JUGA: Jokowi Masih Ogah Bocorkan Kabar Bergabungnya PPP
"Kalau kelemahan administrasi dikaitkan dengan tindak pidana, padahal tidak terbukti ada predicate crime, hal itu akan membahayakan hak-hak warga negara khususnya di kalangan pesantren yang belum terbiasa dengan sistem administrasi yang rapi," ucap Anas.
Menurut Anas, manajemen pesantren cenderung bersifat ikhlas dan tidak secara ketat memisahkan aset pribadi dan pesantren. Malah, biasanya aset-aset pribadi digunakan untuk kepentingan kemajuan pesantren.
Oleh karena itu, kata Anas, penegak hukum harusnya memperhatikan situasi-situasi khusus dan kearifan lokal yang hidup di tengah-tengah masyarakat. "Cara pandang sistem keuangan modern tidak bisa serta merta digunakan untuk menilai peristiwa transaksi yang terkait dengan tradisi pesantren," ucapnya.
Anas mengungkapkan, aset-aset yang dibeli itu tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, namun justru untuk umum. Perjuangan mengumpulkan dananya pun dalam waktu yang cukup lama, baik dari usaha bisnis maupun dari bantuan pihak lain yang memiliki komitmen sosial dan kesukarelawanan. "Hal yang menjadi salah satu sikap dasar dari kalangan pesantren," tandasnya.(gil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anas Sebut Tuduhan Obstruction of Justice Lebih Pas untuk Nazaruddin
Redaktur : Tim Redaksi