Aneh, Jaksa Membawa Restrukturisasi Kredit yang Masih Berjalan ke Ranah Pidana Korupsi

Kamis, 25 November 2021 – 00:13 WIB
Petrus Selestinus. Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Kasus kredit macet di Bank ternyata bisa menyeret seseorang masuk penjara. Hal ini pula yang dialami Direktur Utama PT Jazmina Asri Kreasi (JAK) Jasmina Julie Fatima bersama Komisaris PT JAK Max Julisar Indra, Staf Keuangan PT JAK Sunarya, Staf Administrasi PT JAK Annastasia Rany Nur, dan Relationship Manager BRI Cabang Tanah Abang Shinta Dewi Kusumawardhany.

Jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menuntut mereka secara pidana korupsi dengan tuduhan melakukan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit Briguna oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Tanah Abang kepada para karyawan PT JAK.

BACA JUGA: Kejaksaan Agung Usut Dugaan Korupsi Terkait Kredit Macet di LPEI

Tak tanggung-tanggung, Jaksa menuntut Jasmina dengan pidana 16 tahun penjara ditambah Subsider 8 tahun penjara, jadi total 24 tahun.

Menanggapi hal itu, salah satu penasihat hukum terdakwa Jasmina Julie Fatima, Petrus Selestinus mengaku heran kasus kredit macet yang sedang diselesaikan dengan rekstrukturisasi, tiba-tiba Jaksa menggunakan kaca mata kuda ditarik ke ranah pidana korupsi, dan dituduh korupsi pula.

BACA JUGA: Bertemu Direksi BRI, Bamsoet Dorong Penghapusan Kredit Macet UMKM

“Jadi begini, sebetulnya ini kan masalah kredit macet yang sudah direkstrukturisasi. Artinya Pihak BRI dan PT JAK sudah terikat secara hukum dan sudah memenuhi asas dalam UU Perbankan, tetapi jaksa tiba-tiba menarik ke pidana,” ujar Petrus Selestinus di PN Jakarta Pusat setelah sidang pleidoi kliennya Jasmina Julie Fatima dkk, Selasa (21/11/2021).

Menurut Petrus, Jaksa telah keliru menilai seolah-olah bank BRI adalah bank 100 persen milik negara dan dianggap merugikan Negara.

BACA JUGA: Bamsoet: Perlu Restrukturisasi Cegah Tingginya Kredit Macet

“Ini perspektif Jaksa yang keliru bahkan melanggar hukum. Kan aneh dan lucu,” ujar Petrus yang juga Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) ini.

Padahal, kata Petrus, dalam Undang-Undang BUMN sudah sangat jelas bahwa BRI tunduk pada UU PT, meski BRI adalah bank Pemerintah yang sebagian sahamnya milik pemerintah dan sebagian lagi milik masyarakat.

Sebab, kata Petrus, BRI sudah "Go Public" yang menjalankan misi bisnis untuk mencari keuntungan dan diatur dalam suatu Perikatan Persata.

“Jika ada masalah kredit macet, penyelesaiannya adalah restrukturisasi. Sebab, Bank BRI tunduk pada UU Perseroan Terbatas berdasarkan pada pasal 11 UU BUMN. Di samping itu, ada jaminan Asuransi Jiwa, Asuransi PHK, Asuransi Kredit Macet, Asuransi Kebakaran dan Asuransi lainnya,” ujar Petrus.

Artinya bila ada kredit macet di Bank BRI atau Bank BUMN lainnya, dan bila kredit macet tersebut dianggap sebagai kerugian, maka kerugian tersebut bukanlah kerugian negara, melainkan kerugian Bank BRI itu sendiri.

“BRI-lah yang bertanggung jawab kepada negara. Apabila kerugian Bank BRI adalah kerugian negara, maka apabila Bank BRI ini pailit, itu berarti negara ikut menjadi pailit. Inilah logika Kejaksaan yang harus dikoreksi,” tegas Petrus.

Jika cara pandang demikian dibiarkan, menurut Petrus, maka Kejaksaan akan digugat sebagai telah melakukan perbuatan melawan hukum apalagi membunuh kemampuan Debitur untuk mengembalikan utang macet yang sudah direstrukturisasi dalam suatu Perjanjian Restrukturisasi.

“Inilah cara pandang Jaksa yang konvensional atau kuno yang wajib dikoreksi, jika perlu melalui  gugatan perdata ke Pengadilan. Demikian yang ada di dalan pikiran publik terutama debitur terhadap Jaksa?” kata Petrus.

Petrus mengungkan Jaksa Agung sendiri termasuk Kapolri, juga MA sedang gencar menerapkan asas Ultimum Remidium dan Restorative Justice dalam kasus pidana, untuk mengurangi orang yang dipenjara supaya anggaran negara tidak habis cuma untuk membangun penjara. Artinya tindak pidana bisa dikesampingkan bila sudah ada solusi perdamaian di antara para pihak. Dalam kredit macet solusinya adalah Restrukturisasi.

“Di sini yang sangat kami sesalkan adalah kenapa kok Jaksa berani mengkhianati bahkan menentang pimpinan tertingginya Jaksa Agung terkait asas Ultimum Remidium dan Restorative Justice ini. Jaksa secara serampangan telah menggunakan kaca mata kuda, menyalahgunakan kewenangannya dengan menyeret kasus kredit macet yang sedang berjalan dan telah direstrukturisasi ini ke ranah pidana, tindak pidana korupsi pula tanpa rasa bersalah,” ujar Petrus.

“Ini enggak main-main lho, terdakwa Jasmina ini dituntut 16 tahun plus subsider 8 tahun, jadi totalnya 24 tahun, ini sangat luar biasa."

Untuk itu, Petrus berharap Jaksa Agung mendengar dan segera menertibkan para Jaksa yang dianggap serampangan dan insubordinasi serta menyalahgunakan kewenangannya yang diberikan oleh Negara. Jaksa seperti ini harus diberi tindakan hukum dan diberi sanksi hukum dan administrasi.

“Saya berharap Jaksa Agung mendengar masalah ini dan kemudian menertibkan jaksa-jaksa yang telah menyalahgunakan kewenangannya yang diberikan oleh negara itu," pungkas Petrus.

Terdakwa Jasmina Julie Fatima usai menjalani persidangan meminta agar Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada dirinya untuk menyelesaikan restrukturisasi bertanggal 28 Mei 2020 yang sudah disepakati bersama dengan Bank BRI Kantor Cabang Jakarta Tanah Abang yang kemudian dikacaukan oleh pemeriksaan Jaksa yang mengintervensi ranah perdata yang digiring ke pidana.

“Kami harapkan kepada yang mulia majelis hakim agar dalam memberikan putusan tetap bisa berpedoman pada UU BUMN, UU Perbankan, UU Perseroan Terbatas, UU Keuangan Negara, dan UU terkait lainnya yang tentunya sesuai arahan Mahkamah Agung untuk mengedepankan asas Ultimum Remidium dan Restorative Justice,” ujar Jasmina.(fri/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler