Kejaksaan Agung Usut Dugaan Korupsi Terkait Kredit Macet di LPEI

Rabu, 30 Juni 2021 – 19:13 WIB
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak. (ANTARA/ HO-Humas Kejagung)

jpnn.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung melalui Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) mulai melakukan penyidikan dugaan perkara korupsi dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional Oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

"Selasa, 29 Juni kemarin, Jampidsus melakukan pemeriksaan terhadap enam orang saksi dugaan korupsi Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional oleh LPEI," kata Kapuspenkum Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam siaran peranya keepada wartawan, Rabu (30/6).

BACA JUGA: 10 Tahun Bersembunyi di Luar Negeri, Hendra Subrata Akhirnya Ditangkap Kejaksaan Agung

Adapun keenam saksi yang diperiksa yakni, pertama, AS selaku Mantan Kepala Kantor Wilayah LPEI Surakarta, diperiksa terkait pemberian fasilitas pembiayaan kepada PT KKT.

Lalu kedua MS selaku Senior Manager Operation TNT Indonesia Head Office, diperiksa terkait pengiriman SBW melalui TNT.

BACA JUGA: Skandal Dana Asing, ICW Dilaporkan ke Kejaksaan Agung

Kemudian, lanjut Leo, yakni Ir. EW selaku Manager Operation Fedex / TNT Semarang, diperiksa terkait pengiriman SBW melalui TNT.

Keempat FS selaku Kepala Divisi UKM pada LPEI Tahun 2015, diperiksa terkait pemberian fasilitas kredit kepada PT. JMI dan PT. MWI .

BACA JUGA: Dua Kali dalam Sebulan, Kejaksaan Agung Berhasil Tangkap Buron yang Sembunyi di Singapura

Kelima, DAP selaku Kepala Divisi Analisa Resiko Bisnis II pada LPEI, diperiksa terkait pemberian fasilitas kredit kepada PT. JMI.

Dan keenam YTP selaku Kepala Divisi Restrukturisasi Aset II pada LPEI, diperiksa terkait penanganan debitur macet.

"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri guna menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional Oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)," kata Leo.

Sementara, Leo menyampaikan penyidikan dugaan korupsi ini yang baru dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-13/ F.2/Fd.2/06/2021 tanggal 24 Juni 2021.

Dalam duduk kasus posisi perkara ini, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) diduga telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT. Cipta Srigati Lestari, PT. Lautan Harmoni Sejahtera dan PT. Kemilau Harapan Prima serta PT. Kemilau Kemas Timur.

Pembiayaan kepada para Debitur tersebut, sesuai dengan laporan sistem informasi manajemen resiko, dalam posisi colectibility macet sejak tanggal 31 Desember 2019.

"LPEI di dalam penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional kepada para debitur (perusahaan penerima pembiayaan), diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet/non performing loan (NPL) pada tahun 2019 sebesar 23,39%," terang Leonard.

Dilanjutkan Leo, berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp 4,7 triliun rupiah, di mana jumlah kerugian tersebut penyebabnya adalah dikarenakan adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).

Selanjutnya, berdasarkan statement pada laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74 persen dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada provitabilitas (keuntungan).

Kenaikan CKPN ini untuk mencover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalahan di antaranya disebabkan oleh kesembilan debitur tersebut diatas.

"Lalu, salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet yaitu PT. Jasa Mulia Indonesia, PT. Mulia Walet Indonesia dan PT. Borneo Walet Indonesia dimana selaku Direktur Utama dari 3 (tiga) perusahaan tersebut adalah Sdr. S," katanya.

Namun, Leonard menyampaikan bahwa pihak LPEI yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010.

Akibat hal tersebut, debitur dalam hal ini Group Wallet yaitu PT. Jasa Mulya Indonesia, PT. Mulya Walet Indonesia dan PT. Borneo Walet Indonesia dikategorikan colectibility 5 atau macet sehingga mengalami gagal bayar sebesar Rp 683.600.000.000,- (terdiri dari nilai pokok Rp 576.000.000.000,- + denda dan bunga Rp 107.600.000.000,-). (ant/dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler