jpnn.com - jpnn.com - Ketua Presidium Dewan Peternakan Nasional (Depernas) Teguh Boediyana menjelaskan, penangkapan Patrialis Akbar menjadi salah satu titik terang dari keluhan yang dipendam oleh peternak selama delapan bulan terakhir.
Pasalnya, mulai 16 Oktober 2015 lalu, dia bersama dengan pemerhati peternak lokal lainnya mengajukan judicial review ke MK terhadap ketentuan dalam undang-undang (UU) nomor 41 2014 mengenai peternakan dan kesehatan hewan.
BACA JUGA: Patrialis, Dari Dosen Berakhir di Balik Teralis Sel KPK
’’Kami sudah mengajukan gugatan terhadap pasal 36C dan 36E yang membolehkan impor ternak berbasis zona bukannya basis negara. Semua proses persidangan di MK sudah selesai pada 12 Mei 2016 tapi putusannya belum keluar sampai sekarang,’’ jelasnya.
Menggantungnya putusan hingga berbulan-bulan sangat mengherankan bagi peternak lokal.
BACA JUGA: Patrialis Akbar Suka Nasi Padang, Hobi Golf
Pasalnya, kasus hukum ini sebenarnya sudah bukan barang baru. Polemik impor ternak berbasis zona sudah terjadi pada 2009.
Saat itu, pemerintah baru saja menciptakan produk hukum UU nomor 18 2009 yang mengganti fungsi UU nomor 6 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok peternakan dan kesehatan hewan.
BACA JUGA: Kakak Patrialis: Saudara Saya itu Alim Orangnya
Dalam aturan tersebut, pemerintah juga memasukan ketentuan impor berbasis zona. Karena itu, pihaknya mengajukan judicial review dan dikabulkan pada 2011 lalu.
Namun, UU 41 2014 yang dijebolkan oleh DPR pada masa akhir pemerintahan SBY kembali memuat hal tersebut.
’’Tentu kami kaget karena kami merasa sudah menang di MK. Tapi, kami malah diberitahu bahwa keputusan itu tak lagi berlaku dan disuruh mengajukan judicial review lagi,’’ ungkapnya.
Meski arahan itu dipatuhi, pemerintahan baru Jokowi tampaknya juga tak melambat dan meloloskan Peraturan Pemerintah nomor 4 2016 tentang ketentuan impor ternak berbasis negara dan zona Maret tahun lalu. Padahal, proses hukum masih berlangsung.
’’Alasan pemerintah untuk menurunkan harga daging. Padahal, sampai sekarang tidak ada penurunan harga secara signifikan,’’ tegasnya.
Sekretaris Jenderal Persaturan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Rochadi Tawaf menegaskan, alasan utama pihak peternak tak ingin adanya impor ternak berbasis zona adalah potensi rawan penyakit mulut dan kuku (PMK) ternak.
Pasalnya, dengan zona basis, maka negara eskportir yang belum bebas dari resiko PMK mendapatkan izin untuk memasok sapi dan kawan-kawan ke Indonesia.
’’India dan Brazil bukan merupakan negara yang sepenuhnya bebas PMK. Tapi karena basis ini, mereka bisa menjadi pemasok dan membahayakan peternak rakyat,’’ jelas dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran itu.
PMK sendiri sangat berbahaya dengan potensi penularan melalui udara sejuh 200 kilometer. Karena itu, sekali terjangkit wabah, jumlah kerugian negara bukan hal yang kecil.
Prediksinya, negara bisa merugi hingga Rp 20 triliun. Rp 15 triliun dinilai kerugian yang ditanggung saat peternak harus memotong paksa ternak. Sedangkan sisanya efek samping dari penyebaran itu.
’’Bukan hanya peternakan, pariwisata akan menurun. Bahkan permintaan ekspor komoditas selain ternak pun bisa menurun,’’ jelasnya.
Karena itu, dia berharap dengan terungkapnya OTT yang diduga karena kasus judicial review, pihak MK bisa mempercepat proses untuk menentukan putusan sidang. (bil)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Bidik Perusahaan Milik Pengusaha Penyuap Patrialis
Redaktur : Tim Redaksi