Anggap Kasus JIS Digiring ke Komersial

Senin, 25 Agustus 2014 – 21:08 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Ketua Presidium Aliansi Perempuan Indonesia, RA Berar Fathia, menilai proses hukum kasus dugaan pelecehan seksual di Jakarta International School (JIS) dinilai janggal. Pasalnya menurut Fathia, kasus ini mulai bergeser dari dugaan pelecehan seksual menjadi komersial.

"Semula kasusnya kan soal seorang anak yang menjadi korban pelecehan seksual. Sekarang kasusnya digiring menjadi soal ganti rugi yang dituntut orang tua dan pengacara korban dari semula 12 juta dolar AS menjadi 125 juta dolar AS," kata Berar Fathia, kepada wartawan di Jakarta, Senin (25/8).

BACA JUGA: Kajati DKI Laporkan Perkembangan Kasus JIS ke Komisi III DPR

Kalau proses hukum kasus pelecehan seksual ini tidak dikritisi lanjutnya, sama saja memberi peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk  menungganginya.

"Mestinya, jika benar ada korban, hukum ditegakkan untuk menolong korban. Jangan JIS dan korban diperalat untuk kepentingan tawar-menawar uang," tegasnya.

BACA JUGA: SD Global Nusantara Mengaku Bocah Tenggelam Bukan Muridnya

Dia menilai penyelesaian hukum kasus ini semakin berlarut-larut karena sampai saat ini negara tidak berperan dalam pencarian kebenaran dan siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab.

"JIS telah lama menyelenggarakan pendidikan dari tigkat TK hingga SMA dan selama ini tidak ada masalah. Namun ketika muncul kasus dugaan pelecehan seksual, pihak yang sangat berperan yakni negara, terkesan tidak melakukan tindakan penegakan hukum," ujarnya.

BACA JUGA: Ahok Sebut Bekingnya Tambah Kuat

Sementara kuasa hukum JIS, Hotman Paris Hutapea sempat melayangkan surat kepada presiden terpilih Joko Widodo guna menyampaikan keanehan penetapan status dua guru JIS. Menurutnya, sejak tiga bulan lalu, yang ditetapkan tersangka kasus pelecehan seksual terhadap siswa Taman Kanak-kanak di JIS adalah 6 petugas cleaning service. Hal itu sesuai keterangan ahli dan saksi serta hasil visum.

"Namun setelah adanya penolakan pihak JIS atas permintaan ganti rugi sebesar US$ 13,5 juta oleh ibu korban akhir Mei 2014 lalu, secara tiba-tiba mereka membuat laporan susulan terhadap dua guru JIS. Hal ini diduga untuk memberikan tekanan kepada pihak JIS," ujarnya.

Terhadap dua guru JIS (Ferdinant Tjiong dan Neil Bantleman) yang telah disidik dan ditahan oleh Unit II Subditrenakta Ditreskrimum, Hotma menegaskan bahwa penahanan terhadap dua kliennya oleh Polda Metro tanpa alat bukti yang cukup.

"Pelapor bahkan mengirim pesan kepada JIS, bahwa mereka siap mencabut gugatan itu asal uang damai sebesar US$ 13,5 juta itu dikabulkan," tulis Hotma dalam suratnya kepada Jokowi. Bahkan belakangan uang damai itu meningkat menjadi US$ 125 Juta. Sehingga Hotman menduga ada kaitan antara penetapan status tersangka dengan upaya memuluskan ganti rugi yang sangat besar.

Hotman juga mengungkap sejumlah kejanggalan penyidikan yang dilakukan polisi. Di antaranya tidak pernah ditunjukan atau dipertanyakan dalam pemeriksaan soal barang bukti tindak pidannya. Penyidik juga menolak memberikan kopi BAP dan menolak untuk memeriksa sejumlah saksi penting, seperti dokter yang melakukan visum terhadap dua orang guru JIS maupun korban.

Penyidik menurut Hotma juga menolak untuk memeriksa sejumlah saksi karyawan JIS yang duduk dekat dari tempat para guru itu melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap muridnya.

"Untuk itu, kita mendesak Kejaksaan Agung memeriksa para saksi tersebut dan meminta polisi mengungkap barang bukti tindak pidana yang dilakukan oleh dua guru dimaksud," pinta Hotman.(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dishub Akui Pungli Uji KIR Marak


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler