jpnn.com - BEDA. Entah apa sebabnya. Tapi sepertinya, RSUD Kota Mataram, anti mainstream. Kebanyakan kamar mayat rumah sakit berada di sudut yang redup hingga meniggalkan kesan angker pula. Tapi tidak dengan kamar mayat milik RSUD Kota.
LALU MOH ZAENUDIN, Mataram
BACA JUGA: Salut, ini Cara Kreatif Pak Kasatlantas Lahirkan Generasi Ancita
Memang sama-sama di pojokan. Bahkan jauh di belakang. Tapi yang membuat beda: cahaya.
Sinar matahari leluasa masuk menerpa pintu dan jendela ruangan. Alhasil, jikapun tiba-tiba lampu mati, pengunjung yang phobia dengan kegelapan, tak perlu menjerit histeris. Suasana tetap terang. Kecuali, malam hari.
BACA JUGA: Yani Sakit tak Ada Dokter, Ridwan Kamil Menitikkan Air Mata
“Saya Kadek Lia,” kata pegawai kamar mayat RSUD Kota Mataram dengan ramah. Senyumnya mengembang.
Tubuh Kadek agak bongsor. Manis. Sayang, jomblo. Syukurnya dari ekperesi, ia sepertinya sukses move on. Pertama dari mantan. Kedua dari pekerjaan. Untuk yang kedua, sulit membayangkan bagaimana hebatnya, perjuangan Kadek, sampai akhirnya terbiasa dengan jasad-jasad tanpa nyawa.
BACA JUGA: KEREN! Para Sarjana ini Memilih Jadi Petugas Kebersihan
“Awalnya sih sempat takut-takut, tapi saya mulai berkata pada dia (mayat), ‘saya anggap anda sebagai teman’,” tuturnya, lalu disertai tawa kecil.
Memang itu tak logis. Tapi, siapapun harus makfum, untuk pekerjaan seberat dan sesulit ini, pegawai harus kuat-kuat mensugesti diri. Dan Kadek, membuktikan, ia mampu melakukan itu.
“Iya, itu mungkin cara dia memanusiakan jenazah,” celetuk Kasubag Humas RSUD Kota Mataram, Lalu Hardimun yang lantas diiringi tawa.
Tugas Kadek dan dua rekannya yang lain, Nurhayati dan Heni Rahmayanti memang tidak mudah. Sebelum memasukkan jenazah ke dalam Refrigerator alias mesin pendingin, ada treatment yang wajib dilakukan. Memandikan dengan menggunakan air cendana, kapur barus, dan sabun.
Formalin mayat hanya dilakukan jika ada permintaan dari keluarga jenazah. Terutama jika akan dikirim ke luar daerah.
“Misal kayak kemarin, ada yang dikirim ke Sumbawa, Bali dan Solo, baru diformalin biar tidak bau,” tuturnya.
Meski sempat tak nyaman, kini sudah tidak ada soal lagi bagi Kadek, memandikan jenazah apakah ia perempuan atau laki-laki.
“Tidak semua jenazah saya mandikan, karena saya Hindu, khusus untuk yang Muslim maka dua rekan saya (Nurhayati dan Heni Rahmayanti) yang memandikannya,” ulasnya.
Awalnya, Kadek tidak pernah membayangkan bekerja di Kamar Mayat. Ia memang sempat bercita-cita jadi ahli kesehatan. Uniknya lagi, ketika melamar kerja di RSUD Kota Mataram, ijazah yang digunakan pun lulusan Tata Boga dari SMK Pariwisata.
“Terbiasa lihat daging, jadi sudah tidak takut-takut lagi sama manusia yang juga tubuhnya dari daging,” selorohnya.
Sejak mulai kerja Oktober 2015 lalu, Kadek menyimpan banyak cerita. Terutama horor. Suatu ketika, ia pernah bekerja sendiri, piket menjaga jenazah. Tiba-tiba, telinganya jadi sangat sensitif mendengar berbagai suara yang tidak mungkin terjadi di sekitar atau luar ruangan.
“Ada yang ‘ganggu’ gitu, kayak suara benda jatuh, suara berderit-derit, sampai suara-suara lonceng,” tuturnya. Wajah, Kadek berubah serius.
Dalam kondisi seperti itu, Kadek biasanya lebih memilih banyak berdo’a dan memasrahkan diri agar Tuhan melindunginya selama bekerja. Syukurnya sampai saat ini, ia tidak pernah mengalami peristiwa yang lebih horor dari mendengar suara-suara itu.
“Saya pernah ikut sift siang sampai jam delapan malam dan juga harus on call istilahnya. Jadi jika sewaktu-waktu, tenaga saya dibutuhkan mengurusi jenazah seseorang, saya harus siap. Meskipun itu tengah malam,” tandasnya.
Tak ada pengecualian walau itu malam minggu, maka ia pun harus siap malam mingguan dengan mayat!
Lain cerita Kadek, lain juga cerita Nurhayati. Peristiwa paling mencekam dan menguras adrenalin adalah saat ia harus memandikan mayat (maaf) tanpa kepala.
“Saya sempat berfikir dan menyesali pekerjaan ini, tapi saya kembali memotivasi diri, harus kuat dan kuat. Ya inilah pekerjaan. Sampai akhirnya kini sudah jauh lebih siap menghadapi mayat. Apapun kondisinya,” tutur gadis lulusan SMK Keperawatan itu.
Bahkan, celetukan Heni Rahmayanti cukup membuat seisi ruangan meledak tertawa. “Saya suka kerja di sini, menyenangkan, tempatnya juga sejuk, full AC. Tempat ini bahkan lebih bagus dari kamar saya,” cetus gadis berkacamata, bertubuh subur itu.
Tiga ‘srikandi’ Guard Morgue mengaku kerap membuat heboh teman, keluarga dan sanak famili. Karena keberaniannya menerima pekerjaan sebagai penjaga kamar mayat.
Memang ini nyaris tak lazim, karena yang biasanya melakoni ini adalah laki-laki. Tetapi lagi-lagi, RSUD Kota Mataram menunjukan sikap anti mainsteram.
“Percayalah, ini tak sehoror yang dibayangkan, mungkin ada yang berminat bermalam dengan kami di sini?” canda mereka.(*/r6)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pulang Sekolah Berenang, Kadang Air Tiba-tiba Coklat, Pertanda...
Redaktur : Tim Redaksi