Pulang Sekolah Berenang, Kadang Air Tiba-tiba Coklat, Pertanda...

Rabu, 11 Mei 2016 – 09:01 WIB
Para siswa MTsn Barus, Tapteng, menyeberangi sungai. Foto: New Tapanuli/Metro Siantar/JPG


TETAP semangat. Para siswa MTsn Barus, Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumut itu, harus menyeberangi sungai untuk bisa menuju sekolahnya, mengikuti Ujian Nasional. 

Ya, menghadapi UN hari pertama, Senin (9/5) dan hari kedua, Selasa (10/5), para siswa terpaksa naik rakit menyeberangi Sungai Aek Sirahar menuju sekolah pascaputusnya rambing (jembatan), beberapa waktu lalu. Jembatan itu menghubungkan Desa Bungo Tanjung dengan Desa Kampung Mudik, yang merupakan lokasi sekolah.

BACA JUGA: Si Cantik Peraih Nilai UN Tertinggi, Sttt...Dilarang Pacaran

Puluhan siswa tampak menaiki rakit yang terbuat dari bambu menyeberangi sungai sepanjang 300 meter dengan kedalaman air hingga 3 meter. Tidak hanya siswa, warga juga ikut menyeberangi sungai setiap hari.

Kepada wartawan, warga mengatakan, bila melalui jalan desa, mereka harus melewati tiga desa, yakni Desa Ujung Batu dan Kelurahan Padang Masiang hingga ke Desa Kampung Mudik. Sementara jika menyeberang dengan rakit, hanya sekitar 300 meter.

BACA JUGA: Ibu Menteri Meneteskan Air Mata, Gadis-gadis Kecil Itu pun Menangis

Bahkan, jika tak ada rakit, para pelajar menyeberang sungai dengan berenang, mencari bagian sungai yang tak terlalu dalam. 

Seperti pernyataan Riski, salah seorang pelajar. Dia mengatakan bahwa saat tidak ada rakit, ia bersama temannya setiap hari harus berbasah-basah lantaran harus menyeberangi sungai.

BACA JUGA: Tukang Bersihkan Kamar Mandi, Kini jadi Manajer Inul Vizta

Dikatakan, mereka terpaksa melakukan itu karena harus menyelesaikan UN yang merupakan ujian terakhir bagi mereka.

“Kita naik rakit. Kalau tidak, kita hanya menyeberang dengan berenang, nggak perlu naik rakit,” ujar Riski, siswa dari Desa Bungo Tanjung.

Namun, kalau berangkat, mereka harus naik rakit. Sebab, waktunya lebih cepat walau kadang sepatu tetap basah. Sementara kalau menyeberang dengan berenang, pakaian mereka akan basah dan akan sangat mengganggu mengikuti UN. Jadi, menyeberang dengan berenang hanya jika pulang sekolah.

Dia mengaku, saat menyeberang dengan rakit, mereka terkadang was-was karena sewaktu-waktu Sungai Aek Sirahar bisa saja meluap jika hujan di hulu sungai. “Kadang ada ketakutan kalau warna sungai mendadak berubah coklat. Itu tanda air semakin meluap,” ujarnya.

Sementara, pengelola rakit Mulki Tanjung (41) mengatakan, ia bersama warga terpaksa membuat rakit untuk menyeberangkan warga dua desa ini.

Ia mengatakan, rakit dibuat dengan gotong royong dibantu pemerintah desa. Selanjutnya, warga yang mengoperasikan rakitnya. “Penyeberangan gratis, khususnya untuk anak yang berangkat dan pulang sekolah,” tuturnya. 

Dikatakan, penyeberangan akan berhenti ketika Sungai Aek Sirahar meluap karena bila arus deras, itu sangat beresiko. Rakit akan hanyut dan terbalik.

Dia menambahkan, rakit yang terbuat dari bambu ini dapat mengangkut 10 orang sekali menyeberang. 

Chaniago (54), warga Desa Kampung Mudik mengatakan, rakit ini sangat membantu penyeberangan bagi ratusan pelajar yang akan berangkat menuju sekolah dari daerah itu.

“Kalau tidak ada rakit ini, kasihan para pelajar itu menyeberang sungai dengan berenang. Bahkan kadang ada yang terbawa arus. Apalagi saat ini kondisi aliran Sungai Aek Sirahar tidak menentu,” ujarnya.

“Selain itu, kasihan juga melihat mereka menyeberang bajunya basah,” imbuhnya. (gp/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Arsitek yang Hartanya Ludes Gara-gara...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler