jpnn.com - JAKARTA - Perusahaan-perusahaan pengembang yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI) mengeluhkan pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 90/PMK.03/2015 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan (PPh) dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah. Pasalnya, aturan yang merevisi PMK 253/PMK.03/2008 itu menurunkan batas PPh dari penjualan hunian mewah dari Rp 10 miliar menjadi Rp 5 miliar.
Bukan hanya itu, REI juga mengeluhkan rencana penerapan pajak pertambahan nilai atas barang mewah (PPnBM) sebesar 20 persen bagi rumah senilai minimal Rp 2 miliar karena dianggap membebani. Keberatan REI itu disampaikan dalam audensi dengan Komisi XI DPR yang membidangi keuangan dan perpajakan di Jakarta, Senin (25/5).
BACA JUGA: Harapkan Jangan Sampai Pilih Dirjen Bea Cukai Berlatar TNI/Polri
Namun, anggota Komisi XI DPR Maruarar Sirait menyatakan, PMK 90/2015 itu justru harus dilaksanakan karena sudah disepakati. Hanya saja, untuk pemberlakuan PPnBM sebesar 20 persen bagi rumah senilai minimal minimal Rp 2 miliar memang ada sinyal penundaan.
Ara -sapaan Maruarar- mengaku sudah berkomunikasi dengan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. Menurut politikus muda PDI Perjuangan itu, Menkeu sebenarnya mau menunda pemberlakukan PPnBM atas hunian seharga minimal Rp 2 miliar itu asalkan ada data valid dari pihak pengembang tentang transaksi sewa maupun penjualannya.
BACA JUGA: Bakal Pegang Banyak Uang, Ini yang Harus Dilakukan para Kepala Desa
"Menkeu bersedia menunda selama pengembang memberi data akurat soal sewa menyewanya, siapa yang menyewa, serta pajak dan transaksinya oke," katanya.
BACA JUGA: Gagal Bantu Stabilkan Pangan, Bulog Layak Dibubarkan
Maruarar Sirait. Foto: dokumen JPNN
Ia menambahkan, melihat kondisi perekonomian saat ini memang perlu adanya pelonggaran dalam kebijakan pemerintah termasuk soal pajak. "Pengusaha dengan kondisi sekarang harus ada relaksasi,” katanya.
Namun, Ara juga mengingatkan bahwa pemerintah memang tengah berupaya menggenjot penerimaan dari sektor pajak. “Di sisi lain pemerintah harus dibantu," pintanya.
Sedangkan Ketua Umum REI, Eddy Hussy dalam kesempatan itu mengatakan, pihaknya memang telah berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan. Namun, katanya, para pengembang masih melihat kondisi yang ada. "Kita sebagai pengusaha, kita jalankan dulu dan kita lihat perkembangannya," katanya.
Meski demikian dia mengapresiasi rencana Komisi XI DPR meminta pemerintah melonggarkan kebijakan demi para pengembang dalam negeri. Sebab, lanjutnya, Indonesia segera memasuki Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sehingga sektor properti nasional juga perlu terbuka pada warga negara asing yang hendak memiliki hunian.
“Kita berharap tentunya kebebasan kepemilikan asing, kalau bisa dibuka. Bisa memberikan kontribusi yang besar pada pemerintah," kata dia.
Ia justru berharap masyarakat tidak berpandangan miring pada kebijakan tentang dibolehkannya warga negara asing (WNA) memiliki properti di Indonesia. Sebab, aset properti tidak bisa dibawa kabur ke luar negeri.
"Jadi arti kata mereka tanamkan modalnya tapi barangnya ada di negara kita. Makanya kita berharap isu kepemilikan properti oleh warga asing mendapat perhatian Pemerintah," pintanya.(jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Siap-siap, Seribu Brand Produk Material dan Teknologi Ramaikan Pameran di JCC
Redaktur : Tim Redaksi