Pada 15 November 1978 dini hari pesawat DC-8 Loftleider Icelandic yang membawa 249 jamaah haji Indonesia mengalami kecelakaan di Bandara Katunayake, Kolombo, Sri Lanka. Sebanyak 174 jamaah tewas. Korban yang selamat membentuk Ikatan Keluarga Haji Colombo 78.
DODY BAYU P., Banjarmasin
SEJAK dibentuk 35 tahun silam, Ikatan Keluarga Haji Colombo 78 tetap eksis hingga saat ini. Anggota komunitas itu berasal dari 74 korban selamat kecelakaan pesawat tersebut. Namun, kini banyak di antara anggota asli yang meninggal. Meski begitu, keanggotaan mereka tetap dilanjutkan ahli waris masing-masing.
"Ada yang dilanjutkan oleh istri dan anak-anaknya," kata M. Syahril, ketua Ikatan Keluarga Haji Colombo 78, kepada Jawa Pos di rumahnya, Jalan Mandastana I Nomor 16, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu malam (28/12).
BACA JUGA: Bikin Konsep Aplikasi Curhat, Raih Penghargaan dari Jerman
Komunitas tersebut didirikan oleh mantan wartawan Banjarmasin Post (almarhum) Mas Abi Karsa. Untuk menjaga hubungan, setiap Sabtu pada minggu ketiga mereka berkumpul. Tempatnya berpindah-pindah. Setiap anggota mendapat jatah menjadi tuan rumah secara bergiliran.
"Kami menyelenggarakan pengajian atau ceramah agama serta mendoakan para haji yang meninggal dunia dalam peristiwa Kolombo," terang Syahril yang menggantikan Abi Karsa sebagai ketua pada 1999 itu.
BACA JUGA: Di Indonesia Baru Terdeteksi Seorang, Itu pun Tinggal di Eropa
Mereka juga rajin berziarah ke Makam Syuhada Haji Landasan Ulin, Banjarbaru, tempat dimakamkannya 174 korban peristiwa Kolombo. Meski telah 35 tahun berlalu, insiden tersebut tetap terngiang di ingatan Syahril. Nama Syahril tenar karena pria yang menjadi pengurus masjid di sebelah rumahnya tersebut adalah salah satu korban selamat tanpa luka sedikit pun di tubuh.
Padahal, mengingat kisah kecelakaan tersebut, kecil kemungkinan para penumpang bisa selamat atau minimal tidak meninggalkan sebaret luka. "Saya tidak punya jimat atau ilmu apa pun. Ini memang pertolongan dari Allah," ujar Syahril yang kemarin (29/12) genap berusia 66 tahun.
BACA JUGA: Tergerak setelah Penasaran Lihat Kera Sedih Terus
Saat petaka itu terjadi, Syahril berusia 38 tahun. Dia memiliki firasat sebelum kejadian. Yakni, ditundanya kepulangan rombongan jamaah haji dari Tanah Suci. "Semula kami dijadwalkan siang hari harus sudah menuju Jeddah dari Makkah. Ternyata baru malam hari diberangkatkan. Kondisi kami sudah sangat lelah dan letih," kenangnya.
Kala itu Syahril menunaikan rukun Islam kelima itu bersama dengan istrinya, Masyitah. Begitu pesawat mengudara, meninggalkan Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, kebanyakan jamaah langsung tertidur pulas karena lelah. "Saya dan istri memanfaatkan waktu di dalam pesawat dengan membaca Alquran dan salat sunah," ungkapnya.
Sebelum pesawat yang disewa pemerintah Indonesia untuk mengangkut jamaah haji kloter 1 Banjarmasin tersebut mendarat di Bandara Katunayake, Kolombo, awak pesawat mengumumkan agar penumpang mengikatkan sabuk pengaman. Sejurus kemudian, lampu di sepanjang kabin meredup. Syahril meminta pramugari tetap menyalakan lampu di bangkunya agar dirinya tetap bisa membaca Alquran.
Pesawat itu terbang dari Jeddah dengan tujuan Surabaya, namun harus transit di Kolombo untuk pengisian bahan bakar dan pergantian kru. Syahril duduk di deretan kursi nomor 29. Sang istri duduk di sebelah kanannya. Di sebelah kiri Syahril ada jamaah lain yang akhirnya tewas dalam kecelakaan tersebut.
Beberapa saat sebelum landing, tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh dan pesawat terguncang hebat. "Saya kira pesawat salah mendarat atau roda pesawat pecah," kenang pria yang memiliki enam anak dan sembilan cucu tersebut.
Perkiraan Syahril tepat. Pesawat yang seharusnya mendarat di atas landasan ternyata menyasak kebun kelapa yang berjarak 4 kilometer di luar bandara. Laju pesawat tidak terkendali. Membabat kurang lebih 200 pohon kelapa sebelum akhirnya berhenti.
Kepanikan terjadi di dalam pesawat. Asap hitam pekat memenuhi kabin. "Saya melihat tepat di atas pintu darurat menetes cairan timah panas dan api," kata pensiunan TNI-AD pada 2003 tersebut.
Syahril mengisahkan, penumpang di depannya berhamburan ke belakang. Sebaliknya, penumpang di bagian belakang malah berebut lari ke depan. Syahril dan istri terjepit di tengah-tengah para penumpang yang panik tersebut.
Di tengah kepanikan itu Syahril tidak kehilangan akal. Dia berusaha memecahkan kaca jendela dengan memukulkan kamera. Sayang, usaha itu gagal. Syahril hanya bisa pasrah. "Saya ajak istri berdiri seperti orang salat dan bersyahadat," ucapnya.
Dia melihat sayap pesawat memerah karena panas. Syahril khawatir pesawat meledak. Dia lantas mengajak sang istri berlari ke bagian belakang untuk mengurangi risiko. "Setidaknya mayat kami masih bisa dikenali," ujarnya.
Siapa sangka, di bagian belakang pesawat tersebut dia menemukan lubang yang terbentuk gara-gara benturan keras. Dia lantas keluar lewat lubang itu dan langsung berlari menjauhi pesawat. Tidak lama kemudian, pesawat meledak. "Setelah meledak, suara penumpang di dalam pesawat tidak ada lagi. Yang tadinya bertakbir sudah tidak kedengaran lagi," kenangnya.
Syahril dan istri memang bukan satu-satunya korban selamat. Namun, dia merupakan satu-satunya korban yang tidak terluka dalam kecelakaan tersebut. Sementara itu, sang istri menderita luka ringan di lengan.
Selama menjalani pemulihan, Syahril kerap didatangi warga muslim Sri Lanka. Mereka menjenguk sekaligus meminta doa. "Mereka minta doa kepada saya karena heran melihat saya tanpa luka sedikit pun," ujarnya.
Begitu tiba di tanah air, Syahril ditemui menteri agama (Menag) saat itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara. Seolah tidak percaya Syahril selamat tanpa luka sedikit pun, Menag memintanya untuk menunjukkan kondisi tubuhnya. "Saya sempat diminta untuk buka baju. Setelah melihat tidak ada luka, dia baru percaya," ungkapnya. (*/c11/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sejak Bayi Dimanja, Hasilkan Mutiara Kelas Dunia
Redaktur : Tim Redaksi