jpnn.com - JAKARTA - Sekretaris Fraksi PKS DPR RI, Sukamta mengatakan pencabutan pembatasan keluarga petahana sebagai calon kepala daerah dalam UU Pilkada oleh Mahkamah Konstitusi (MK) patut diapresiasi sebab sudah berdasarkan asas equality before the law.
"Alasan dihapuskannya klausul keluarga petahana dalam pencalonan kepala daerah memang sesuai dengan asas equality, karena dalam UUD 1945 disebutkan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk memilih atau dipilih. Tentunya diharapkan ini akan mengokohkan demokrasi, meskipun bisa saja hal ini justeru membuka peluang terjadinya politik dinasti yang mengarah kepada oligarki politik," kata Sukamta, Jumat (10/7).
BACA JUGA: Pemerintah Segera Susun Aturan Pengisian JPT
Sedangkan aturan bagi anggota DPR, DPRD dan DPD harus mundur dari jabatannya ketika mencalonkan diri dalam Pilkada menurut Sukamta, justru bertentangan dengan asas equality before the law.
Dalam hukum lanjut anggota Komisi I DPR RI ini, dikenal istilah conditio sine qua non, yaitu syarat-syarat atau sebab-sebab yang harus ada untuk sebuah akibat. Jika dianalogikan, pada konteks keluarga petahana dibatasi dalam pencalonan kepala daerah, conditio (syarat/sebab)-nya karena peluang keluarga petahana menumbuhkan politik dinasti dan oligarki tidak bisa dijadikan alasan disebabkan tidak adanya kepastian hukum.
BACA JUGA: Di Kilometer 74, Tol Cipali Padat Merayap
"Kan tidak pasti keluarga petahana akan oligarkis, kalau berpeluang iya. Sesuatu yang tidak pasti tidak bisa dijadikan dasar hukum. Karena itu hukumnya dikembalikan ke awal, yaitu setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih atau dipilih," ujarnya.
Sedangkan dalam konteks PNS, TNI dan Polri serta anggota DPR, DPRD dan DPD yang harus mengundurkan diri dari jabatannya saat maju Pilkada, menurut Sukamta, terjadi syarat atau sebab yang tidak equal.
BACA JUGA: Bupati Bengkalis Jadi Tersangka, Ini yang Dirasakan Dirjen Otda Kemendagri
Larangan bagi PNS, TNI dan Polri terlibat politik praktislah yang menjadi condition (syarat/sebab) pengunduran diri mereka saat maju Pilkada. Itu sudah otomatis. "Tapi pengharusan anggota DPR, DPRD dan DPD mengundurkan diri dari jabatannya saat maju Pikada tidak memiliki condition (syarat/sebab) yang equal (sama) dengan PNS, TNI dan Polri. Conditio sine qua non-nya berbeda," tegasnya.
Karenanya Sukamta menilai asas equality before the law dalam konteks anggota Dewan harus mundur jika ikut piljada justru tidak terpenuhi, padahal asas ini menjadi alasan utama dalam putusan MK tersebut.
"Seharusnya kita tidak melihat sesuatu dari hilir atau hasil akhirnya saja, tapi juga melihat hulunya atau awal terjadinya suatu syarat/sebab itu. Sejak awal saat masih berstatus calon PNS, calon TNI dan calon Polri, mereka sudah disyaratkan tidak boleh terlibat politik. Maka ketika mereka masuk ke dunia politik, status PNS, TNI dan Polri harus ditanggalkan," jelasnya.
Sedangkan anggota DPR, DPRD dan DPD, sejak awalnya memang berasal dari jalur politik. Bahkan anggota DPR dan DPRD jadi anggota dewan lewat kendaraan partai politik. Dan ini dilindungi undang-undang. "Sehingga tidak ada alasan/akibat yang legal dan rasional untuk mensyaratkan mereka juga harus mundur dari jabatannya saat maju Pilkada," tegasnya.
Terakhir dia katakan, putusan MK final dan mengikat. "Karenanya PKS tetap menjujung keputusan MK, walaupun sebetulnya PKS melihat undang-undang yang dibuat dulu itu sudah benar pertimbangannya, yaitu untuk meminimalisasi peluang terjadinya politik dinasti yang mengarah kepada oligarki politik. Tapi biar bagaimana pun, kita harus hormati putusan MK ini," pungkas anggota DPR dari daerah pemilihan Yogjakarta itu. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sudah Menang di PT TUN, Agung Masih Mau Temui Ical?
Redaktur : Tim Redaksi