jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay memprotes pernyataan Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fachmi Idris. Saleh tidak terima pernyataan Fachmi menyebut iuran BPJS lebih murah daripada membeli pulsa telepon.
“Ini perlu dicatat. Saya protes kenapa, saya mengganggap bahwa dirut BPJS sedang menyederhanakan masalah. Padahal, masalah-masalah itu sangat kompleks,” kata Saleh saat rapat kerja Komisi IX DPR dengan
BACA JUGA: Ada Persoalan Serius dalam Pembayaran BPJS Kesehatan
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, BPJS, DJSN, dan Badan Pengawas BPJS di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/11).
“Coba bayangkan iuran BPJS dibandingkan pulsa telepon, itu sangat-sangat tidak komparatif, tidak kompatibel, dan tidak komparabel. Tidak boleh dibandingkan seperti itu,” lanjut politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
BACA JUGA: Komisi IX DPR Cecar Dirut BPJS Kesehatan
Legislator dapil Sumatera Utara II itu lantas mengajak Fachmi sekali-sekali ke kampungnya untuk melihat bahwa masih ada warga yang susah yang gajinya Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu sehari.
“Tidak usah menunggu setengah jam, 20 menit saya tunjukkan ini loh orang yang gajinya Rp 20 ribu, Rp 30 ribu sehari,” katanya.
BACA JUGA: Iuran BPJS Kesehatan Naik, Beban Keuangan Pemda Bertambah
Dia tidak setuju analogi dirut BPJS yang sebelumnya menyebut bahwa untuk membayar iuran BPJS, masyarakat bisa menabung Rp 2 ribu per hari. Saleh menjelaskan, kalau dalam satu keluarga itu ada suami, istri, dan satu anak, berarti setiap hari harus menambung Rp 6 ribu.
Namun, kata dia, kadang-kadang itu orang di kampung memiliki anak banyak. Misalnya, kata dia, kalau ada anak lima, maka ditambah suami dan istri, iuran yang harus dibayar adalah untuk tujuh orang. Artinya, sehari harus menabung Rp 14 ribu. Kalau sepuluh hari Rp 140 ribu. Kalau 30 hari sudah Rp 420 ribu. “Jadi, lebih murah mana iuran BPJS atau pulsa telepon?” kata Saleh dengan mimik wajah serius.
Dia menegaskan bahwa pulsa telepon itu adalah kebutuhan sekunder, bahkan tersier. Menurut dia, orang yang tidak punya telepon bisa hidup senang, gembira, tertawa, beraktivitas, dan sekolah. Lantas, kata Saleh, kalau tidak punya akses kesehatan, orang bisa meriang, merinding, bahkan meninggal dunia.
“Bisa dibayangkan tidak? Tolong cabut itu (pernyataan),” katanya.
Saleh pun mengingatkan dirut BPJS tidak usah ngomong macam-macam ketika banyak orang mempertanyakan ihwal kenaikan iuran. Dia menyarankan sebaiknya dirut BPJS menyatakan bahwa kenaikan itu adalah urusan pemerintah.
“Karena undang-undangnya yang menaikkan itu pemerintah, bukan dirut BPJS. Kenapa dikomentari? Itu tidak pas. Saya protes. Karena saya tahu persis, masyarakat yang protes ke saya juga ngomong seperti itu,” kata Saleh.
Sebelumnya diberitakan, Fachmi menyebut iuran BPJS Kesehatan lebih murah dibanding pulsa telepon.
Hal itu dia katakan mengomentari kenaikan tarif Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Sesuai perpres, iuran peserta mandiri untuk kelas I menjadi RP 160 ribu. Kelas II Rp 110 ribu, dan kelas III Rp 42 ribu.
Menurut Fahmi, kalau dikalkulasi per tahun, memang besaran pembayaran mencapai jutaan, tetapi dihitung secara harian iuran BPJS lebih murah dibanding pulsa karena hanya menyisihkan Rp 2 ribu per hari.
“Kalau bicara perbandingan lebih murah dari pulsa,” ujar Fahmi di kantor pusat Kemenkes, Jakarta Pusat, Jumat (1/11). (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy