Anggota Komisi III DPR Wayan Sudirta Tanggapi Kehebohan Pasal Perzinaan di UU KUHP

Jumat, 09 Desember 2022 – 17:35 WIB
Anggota Komisi III DPR RI Wayan Sudirta (kiri). Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Wayan Sudirta menyampaikan tanggapan atas berbagai mis-informasi di masyarakat tentang pasal perzinaan di KUHP yang baru saja disahkan DPR RI.

Wayan Sudirta menjelaskan isu yang berkembang di masyarakat seakan Pasal 411 dan Pasal 421 KUHP tersebut, ada sejumlah wisatawan membatalkan kunjungan ke Bali, karena khawatir akan ancaman pidana dalam dua pasal KUHP tersebut.

BACA JUGA: PBB Sentil Indonesia soal KUHP Baru, Bobby Bereaksi

Padahal, menurut Wayan Sudirta, sejatinya menurut pejabat di Bali, tidak ada agen perjalanan membatalkan liburan ke Bali seperti santer diberitakan.

“Sebagai anggota DPR Periode 2019-2024 telah melihat berbagai pertimbangan maupun perdebatan terkait hal ini,” kata Wayan Sudirta, Jumat (9/12).

BACA JUGA: Kominfo Sosialisasikan KUHP Baru di Batam

Sudirta menegaskan pasal ini memang sempat menjadi perdebatan panjang karena dinilai sebagai kewenangan negara yang “melewati batas pribadi seseorang”.

Namun, ada sebagian fraksi yang juga menyampaikan aspirasi dari beberapa pihak yang menginginkan Pasal ini ada.

BACA JUGA: Dubes Amerika Dinilai Sibuk Urusi KUHP Baru, Teddy: Tidak Etis Sebagai Tamu

Alasannya adalah untuk memberikan perlindungan kepada generasi muda dari pengaruh seks bebas maupun sesuai dengan norma agama dan nilai adat.

Wayan Sudirta menjelaskan makna perzinahan dalam konteks dan nilai-nilai masyarakat Indonesia (bukan masyarakat kota besar saja), yang bersumber dari agama, adat-istiadat, dan tata norma lainnya.

“Hal ini juga sejalan dengan norma hukum pidana yang menggali dan menghormati hukum yang hidup dalam masyarakat,” ujar Wayan Sudirta.

Politikus PDI Perjuangan ini mengatakan pasal ini merupakan penghormatan kepada lembaga perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang. Para perumus bersepakat untuk menjadikan pasal ini tetap diperlukan.

Namun, kata dia, harus diatur secara sangat ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan.

Dia menjelaskan dirumuskan sebagai delik aduan dan pengaduan dibatasi hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang paling terkena dampak (suami/istri/orang tua/anak).

“Jadi, tidak sembarangan dapat diberlakukan atau digunakan oleh aparat penegak hukum maupun pihak-pihak lain,” kata Sudirta.

Selain itu, pasal ini juga memberi penegasan adanya mekanisme hukum agar tidak terjadi persekusi oleh masyarakat yang selama ini sering terjadi.

Pasal ini merupakan representasi dari beberapa nilai dalam masyarakat yang melihat perbuatan ini sebagai hal melawan hukum atau kejahatan terhadap lembaga perkawinan maupun kejahatan materiel yang dapat merugikan pihak lain maupun masyarakat secara umum.

“Hal di atas adalah pendapat dari berbagai fraksi, para ahli, dan pemerintah. Perdebatan panjang terjadi dan dicari jalan tengahnya,” kata Sudirta.

“Saya pribadi setelah mendapat penjelasan dan data tersebut, melihat bahwa pasal ini terjadi sebagai jalan tengah dari seluruh kepentingan para pihak yang menginginkan hal yang berbeda-beda,” kata Sudirta.

Namun, menurut Sudirta, lebih dari itu, pasal ini perlu ada sebagai harmonisasi terhadap UU Perkawinan (tujuan dan filosofi lembaga perkawinan) dan norma lain yang hidup dalam tata kehidupan bangsa Indonesia.

Menurut Wayan, kita juga harus secara bijaksana melihat berbagai fenomena permasalahan di masyarakat seperti persekusi (pengarakan oleh masyarakat untuk menimbulkan malu), kawin kontrak yang sering merugikan WNI, dan fenomena lain yang dapat merusak keharmonisan kehidupan bangsa Indonesia.

Namun, pengaturannya harus dilakukan secara ketat dan terbatas, mengingat dalam hal ini negara masuk dalam ruang privat sehingga membutuhkan aturan yang jelas dan ketat.

Adapun jika adat istiadat atau norma adat dari daerah tertentu mengatur berbeda, tentu dapat mengesampingkan pasal tersebut secara restoratif yang dimungkinkan dalam KUHP.

“Namun tetap dilakukan dengan mekanisme yang sesuai dengan tujuan dan filosofi negara hukum,” kata Sudirta.

Sudirta menegaskan melihat perkembangan dari masyarakat di Indonesia maupun di dunia internasional yang heboh dan merasa takut akan pemberitaan mengenai pasal tersebut adalah wajar.

Pasalnya, masyarakat belum sepenuhnya tersosialisasikan tentang pelaksanaan dan makna filosofi pasal tersebut.

“Kami dengan sangat terbuka akan menerima seluruh masukan dari masyarakat baik di dalam maupun luar negeri, mengingat KUHP baru akan berlaku pada 2025 dan terbuka pada seluruh kemungkinan seperti uji materi maupun perubahan UU,” ujar Wayan Sudirta.

“Masa transisi tersebut tentu akan menjadi kesempatan untuk melakukan sosialisasi dan pengujian oleh masyarakat maupun mekanisme hukum formil,” imbuh Sudirta.

Dalam hal ini, akibat belum maksimalnya sosialisasi, mengakibatkan Provinsi Bali tentu akan terdampak.

Namun, Wayan secara pribadi mengimbau kepada seluruh pihak dan media massa (baik nasional maupun internasional) untuk secara bijak dan seimbang memberikan informasi atau pemberitaan yang komprehensif kepada masyarakat.

“Hal ini penting agar tidak terjadi kesalahpahaman yang justru merugikan semua pihak dan berkesan seperti ada kepentingan terselubung untuk mencoba mengalihkan tujuan pariwisata Bali sebagai salah satu destinasi wisata dunia dan merugikan masyarakat di Bali,” kata Sudirta.(fri/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler