Angka Defisit BPJS Kesehatan, Tunggu Review Kedua BPKP

Sabtu, 03 November 2018 – 07:24 WIB
BPJS Kesehatan. Ilustrasi Foto: Idham Ama/Fajar/dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Skema-skema baru efisiensi BPJS Kesehatan sedang dibahas untuk mengurangi defisit yang mencapai Rp 10,9 triliun sesuai hasil review Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris menuturkan sedang ada review kedua yang dilakukan oleh BPKP dan akan selesai pada pekan depan.

BACA JUGA: Dokter Cantik Bicara Layanan terhadap Pasien BPJS Kesehatan

Fahmi menuturkan sesuai review dari internal BPJS Kesehatan potensi devisit itu sekitar Rp 16,5 triliun hingga akhir tahun. Tapi, dari review oleh BPKP ternyata hanya ada potensi kerugian Rp 10,9 triliun.

Pihaknya sudah menyampaikan dan memberikan penjelasan kepada Menteri Keuangan terkait perbedaan yang cukup jauh itu.

BACA JUGA: Dipasok Rp 4,9 T, Defisit BPJS Kesehatan Masih Berlanjut

”Karena kami menggunakan metode yang berbeda, asumsi yang berbeda. BPKP juga metode berbeda asumsi berbeda. Kami sampaikan perbedaan itu. Dan Alhamdulillah ini direspon dengan sangat baik oleh Bu Menkeu (Sri Mulyani, red),” kata Fahmi usai bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kamis (1/11). Fahmi menemui JK sebagai salah seorang pengurus Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri).

Dia menuturkan BPKP pun sudah ditugaskan oleh Kementerian Keuangan untuk membuat review kedua. Review tersebut harus selesai paling lambat 5 November atau tiga hari lagi. Review itu akan sangat menentukan kebijakan pemerintah kedepan. Termasuk kemungkinan mengucurkan lagi dana APBN untuk menutup BPJS Kesehatan.

BACA JUGA: Pemerintah Siapkan Banyak Opsi Tutup Defisit BPJS Kesehatan

”Hasilnya ya berdasarkan putusan 5 November itu baru tindak lanjut. Tunggu tanggal mainnya 5 November,” ujar Fahmi.

BPJS Kesehatan agaknya terdesak. Apalagi setelah Mahkamah Agung membatalkan kebijakan badan tersebut untuk membatasi tiga layanan. Yakni operasi katarak, fisioterapi, dan persalinan normal. Mereka pun tidak akan mempersoalkan amar putusan MA tersebut.

Karena sudah bersifat final dan mengikat. Hanya hingga kemarin, putusan itu belum mereka terima. Pihaknya juga masih menghitung apakah pembatalan atas pengurangan tiga layanan berdampak pada makin parahnya defisit BPJS.

”Nanti di rakor (rapat koordiansi, Red) tingkat menteri kami akan menyampaikan. Apakah item bauran terkait dengan tiga hal tersebut apakah tetap menjadi keputusan rapat tingkat menteri atau tidak,” ujar dia.

Opsi lain untuk mengurangi defisit adalah dengan mereview iuran. Fahmi berharap ada review yang dilakukan oleh dewan jaminan sosial nasional yang bertugas untuk menghitung iuran. Terutama iuran penerima bantuan. Perhitungan itu sesuai aturan memang dilakukan tiap dua tahun.

Alasannya karena ada faktor inflasi dan penyesuaian tariff layanan di rumah sakit. ”Itu yang seharusnya tahun lalu ya itu sudah diterbitkan, kan dua tahun sekali perintahnya, ini kan 2018, 2017 sudah ada hitungan itu,” kata dia.

Meski demikian, ada ancaman lain yang berpotensi memperbesar defisit. Koordinator Advokasi BPJS Watch melihat potensi defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) lebih besar dengan adanya kenaikan upah minimum propinsi/kota (UMP/K). ”Upah peserta pekerja penerima upah (PPU) swasta atau BUMN dan BUMD berhak atas ruang perawatan klas 2 dan kelas 1,” katanya. Hal itu karena upah mereka setidaknya empat juta atau lebih.

Data BPJS Watch per 30 september lalu mencatat jumlah peserta PPU dari sektor tersebut yang membayar iuran sebanyak 13.349.602 orang. Bila jumlah peserta beserta dengan keluarga maka totalnya sebanyak 31.436.014 orang. ”Rinciannya peserta PPU swasta/BUMN/D beserta keluarga yang berhak pelayanan klas 1 sebanyak 7.541.213 orang sementara yang klas 2 sebanyak 23.894.801 orang,” beber Timboel.

Kementerian Ketenaagkerjaan beberapa hari yang lalu telah mengeluarkan Surat Edaran tentang kenaikan upah minimum tahun 2019, yaitu sebesar 8, 03 persen dengan mengacu pada Pasal 44 PP no. 78/2015. Kenaikan tersebut berdasarkan penjumlahan inflasi nasional 2,88 persen dan kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional 5,15 persen.

”Kenaikan upah minimum tersebut akan berdampak pada peningkatan pembiayaan JKN di tahun 2019, yg bisa mendorong peningkatan defisit, karena kehadiran Pasal 50 Pepres no. 82/2018 di atas yang masih menetapkan batas klas 1 dan 2 di upah Rp. 4 juta sebulan,” ucapnya.

Dengan kenaikan upah minimum 8,03 persen ini maka akan ada daerah industri tertentu yang seluruhg peserta PPU swasta dan keluarganya berhak atas klas 1. Sebut sajaKota Bekasi yang upah minimum (UM) saat ini sebesar Rp. 3.915.353 perbulan. Bila Gubernur Jawa Barat menetapkan kenaikan UM Kota Bekasi 8.03 persen maka UMK kota Bekasi di 2019 menjadi Rp. 4.229.755 perbulan. ”UM Kota Surabaya saat ini sebesar Rp. 3.583.312 per bulan. Jika kenaikan UM Kota Surabaya 8.03 persen maka UM nya di 2019 menjadi sebesar Rp. 3.871.051 per bulan,” ucapnya.

Dia memastikan biaya INA CBGs utk perawatan bagi pekerja PPU beserta keluarganya akan meningkat di tahun 2019. Bahkan Timboel memprediksi bahwa defisit bisa bertambah Rp 250 miliar. (jun/lyn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiga Peraturan Baru BPJS Kesehatan Dibatalkan MA, Lantas?


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler