Angka Kematian Covid-19 Indonesia Tertinggi di ASEAN, Begini Respons Guru Besar FKUI

Selasa, 24 Agustus 2021 – 16:05 WIB
Guru Besar FKUI Prof Tjandra Yoga Aditama merespons tingginya kematian Covid-19. Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian akibat Covid-19 Indonesia paling tinggi di ASEAN.

Prof. Tjandra memerinci angka kematian di Indonesia sebesar 3,2 persen, Malaysia  0,9 persen, Thailand 0,9 persen, Kamboja 2,0 persen, Vietnam 2,2 persen, Singapura 0,1 persen, Laos 0,1 persen, Myanmar 3,8 persen, Timor Leste 0,3 persen, Korea Selatan 0,9 persen, USA 1,7 persen dan India 1,3 persen.

BACA JUGA: Sampai Kapan PPKM Berlaku? Begini Jawaban Luhut Binsar Pandjaitan

Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI itu menyebutkan setidaknya ada sejumlah faktor yang menyebabkan angka kematian tanah air tak kunjung turun.

"Sebaiknya dibuat analisa mendalam dulu tentang kematian, dalam dua aspek, yaitu pola kematian di masyarakat, di mana meninggalnya, apakah sudah ke RS, apakah ada komorbid, apakah dalam konsultasi dengan nakes," kata Prof. Tjandra.

BACA JUGA: PPKM Diperpanjang Hingga 30 Agustus, Begini Syarat Naik Kereta Api

Menurut dia, pemerintah perlu menganalisa penyebab kematian cause of death (COD) di rumah sakit sesuai dengan International Classification of Diseases (ICD).

"Dengan ke dua analisa mendalam ini maka penanganan selanjutnya akan lebih baik, katakanlah sesuai prinsip evidence-based decision making process," bebernya.

BACA JUGA: Guru Besar Paru FKUI Angkat Bicara soal Konsekuensi Pelonggaran PPKM, Hati-hati

Kemudian, lanjut Prof. Tjandra, dengan angka kematian sekitar tiga persen, maka kasus aktif pun dinilai masih tinggi.

Prof. Tjandra menyebutkan kenyataan bahwa masih tingginya angka penularan di masyarakat, ditandai dengan angka kepositifan sekitar 20 persen atau empat kali lebih tinggi dari angka WHO.

"Dan hampir 10 kali lebih tinggi dari India," tegasnya.

Prof. Tjandra menuturkan pemerintah juga perlu menganalisa pasien isolasi mandiri di rumah atau fasilitas isoter. Pasalnya, bukan tidak mungkin perburukan terjadi bukan hanya karena Covid-19 tapi juga adanya komorbid yang tidak terkontrol baik.

Oleh karena itu pada mereka yang dirawat atau diisolasi di luar rumah sakit maka ada empat hal yang harus dilakukan. Pertama, harus memeriksa gejala, suhu, dan saturasi oksigen pagi dan sore.

Kedua, melakukan pola hidup bersih sehat, termasuk makan bergizi, aktifitas fisik, dan mengelola stress.

Pasien juga diwajibkan melakukan komunikasi secara teratur dengan petugas kesehatan dan empat, tentang obat.

"Maka ada dua hal, yaitu obat untuk menangani komorbidnya kalau ada dan juga kalau memang diperlukan vitamin atau onat tertentu untuk COVID-19 ya, yang tentunya harus dalam pengawasan tenaga kesehatan," jelasnya.

Mantan Direktur WHO Asia Tenggara itu juga menilai pemerintah perlu memperhatikan pasien yang dirawat di RS, angka kematian dapat terjadi karena keadaan pasien yang sudah berat ketika masuk RS, dan atau mungkin juga faktor-faktor lain.

Lalu, lanjut Prof. Tjandra, masih belum tercapainya target tes 400 ribu sehari dan telusur 15 kontak per kasus positif ikut memberikan andil pada tingginya angka kematian.

Pasalnya, tidak menutup kemungkinan kasus yang ada di masyarakat terdeteksi sedari dini.

"Selain itu, Prof. Tjandra mengatakan, masih tingginya angka kematian dapat dihubungkan dengan masih rendahnya cakupan vaksinasi, yang masih sekitar 15 persen," tegas dia.

Laporan pada 17 Agustus 2021 menunjukkan ada 1.180 warga Indonesia yang wafat dalam sehari dan angka rata-rata kematian tujuh hari adalah 1.342 orang.

Sesudah itu angkanya juga masih terus tinggi, 1.128 yang wafat di laporan 18 Agustus, meningkat lagi menjadi 1.492 yang meninggal pada 19 Agustus dan menjadi 1.348 di 20 Agustus 2021, dengan angka kematian rata-rata tujuh hari sejumlah 1.269 orang.

"Perlu kita ingat bahwa pada awal PPKM darurat diberlakukan pada 3 Juli 2021 maka yang wafat hari itu adalah 493 orang dengan angka kematian rata-rata 7 hari sejumlah 471 orang, jadi angka kematian sesudah 17 Agustusan ini adalah setidaknya dua kali lebih tinggi dari saat PPKM darurat dimulai," ujar Prof. Tjandra.

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Elvi Robia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler