Seorang anak berusia 4,5 tahun menjadi korban jiwa kelima yang meninggal akibat rabies dalam laporan investigasi Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar yang diterima ABC Indonesia.
Laporan tersebut menyebutkan anak tersebut meninggal pada 3 September lalu, setelah sehari sebelumnya mengalami gejala seperti demam, sesak, takut cahaya.
BACA JUGA: inDrive Luncurkan Jaket dan Helm Terbarunya, Lihat
Diketahui sebulan sebelumnya ia digigit anjing liar.
Rabies masih dianggap sebagai ancaman kesehatan di Indonesia.
BACA JUGA: Bandar Arisan Bodong Itu Mbak ND, Puluhan Orang Tertipu
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat rabies masih berstatus endemi di 26 provinsi pada tahun lalu, meski penyakit ini bisa dicegah dengan vaksinasi.
Jumlah kasus rabies terbanyak tercatat di Bali, meski pemerintah daerah sudah menyediakan vaksin anti-rabies gratis, menurut para pengamat.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Lebanon Mengatakan AS Jadi Kunci dalam Perang dengan Israel
Hari Rabies Dunia diperingati setiap tanggal 28 Oktober untuk meningkatkan kewaspadaan soal risiko rabies dan WHO menargetkan agar dunia bisa bebas rabies pada tahun 2030.
Menurut hasil investigasi Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar, gigitan anjing liar yang merenggut jiwa anak berusia 4,5 tahun tersebut tidak dilaporkan ke petugas kesehatan.
Mereka menuturkan pihak keluarga juga tidak mencari pengobatan maupun vaksin anti rabies, dan memilih untuk melakukan pengobatan sendiri dengan mengoleskan minyak di sekitar luka.
Pola berpikir dalam masyarakat masih menjadi tantangan untuk membasmi rabies, seperti yang dikatakan Ketua Pusat Kajian One Health Universitas Udayana, Profesor Ni Nyoman Sri Budayanti.
"Yang susah itu adalah anak-anak yang tidak lapor ke orang tua digigit anjing, orang yang ekonominya tidak terlalu bagus," ujar dr. Sri kepada Billy Adison dari ABC Indonesia.
"Mereka pikir dari dulu juga rabies sudah ada, tergigit tidak apa-apa, [dan sayangnya] itu terbukti dari lima kasus [kematian] itu," tambahnya.
Dinas Kesehatan Provinsi Bali mencatat lebih dari 39.000 orang digigit hewan pembawa rabies di tahun ini, dengan sekitar 90 persen di antaranya akibat gigitan anjing di Bali.
Sementara baru 54,9 persen warga Bali sudah divaksinasi, menurut data tersebut, dan daerah Gianyar menjadi yang terendah kedua.Upaya Bali menekan angka rabies
Jumlah kasus rabies dan gigitan hewan pembawa rabies sudah "menurun" lewat upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan sejumlah lembaga, ujar dr Sri yang sudah berkecimpung di penanganan rabies dari kasus tercatat pertama Bali pada tahun 2008.
Pusat kajian One Health dengan dukungan pemerintah Australia sudah melakukan sejumlah upaya, seperti membuat kebijakan untuk mencegah dan mengendalikan rabies.
Pemerintah Provinsi Bali membentuk Tim Siaga Rabies (TISIRA) untuk membantu menekan angka rabies di Bali.
TISIRA melakukannya dengan mengobati luka gigitan, memberikan vaksin anti-rabies kepada warga, dan sosialisasi kepada masyarakat.
Tapi dr Sri merasa ini saja tidak cukup.
"Sebenarnya rabies ini adalah penyakit masyarakat, community-based disease. Jadi harusnya masyarakat yang aktif," katanya.
Namun sayangnya, masih ada kelompok masyarakat dan pemangku kepentingan yang belum memahami bahaya rabies, seperti dikatakan Made Rentin, Sekretaris Tim Koordinasi Daerah Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis Penyakit Infeksi Baru, seperti dikutip oleh Antara.
Ia juga mengatakan pengendalian rabies "semakin berat" karena alasan biaya.
"Tantangan pengendalian rabies pada tahun-tahun mendatang akan semakin berat karena ketersediaan vaksin dan biaya operasional pengendalian di hulu makin besar," ujarnya.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Janice Girardi, pendiri organisasi Bali Animal Welfare Association (BAWA).
"Katakanlah seseorang memiliki upah minimum … memiliki anjing kesayangan yang melindungi keluarga atau rumah, [tapi] mereka tidak pernah dikebiri, tidak ada klinik dokter hewan yang melakukannya," katanya.
"Kalau pun ada, tidak mampu membayarnya."Masih ada yang buang anjing
Menurut Janice, masih banyak warga yang kurang paham soal apa yang harus dilakukan pada anjing yang sakit.
Akibatnya, ketika anjing mereka berkembang biak dan ada yang sakit sakit, mereka langsung membuangnya karena dikhawatirkan memiliki rabies.
Ia mengatakan inilah penyebab jumlah anjing liar yang belum divaksinasi masih tinggi dan masih besarnya risiko rabies di Bali.
"Jadi mereka membuang anjing mereka yang sakit dibawa pakai motor ... dibuang di pasar, pantai, kuil," katanya.
"Orang-orang harus diberitahu kalau rabies itu 100 persen bisa dicegah."
Australia adalah salah satu negara yang bebas rabies, sehingga mereka ikut berupaya menekan angka rabies dengan membantu vaksinasi di negara-negara tetangga, seperti Indonesia.
Departemen Pertanian Australia bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk menjalankan program pengendalian rabies yang ditargetkan selama empat tahun.
Mereka sudah menyalurkan 200.000 vaksin yang disediakan World Organisation for Animal Health setiap tahunnya sejak tahun 2022.
Tapi menurut Janice, upaya vaksinasi bisa menjadi tidak efektif jika anjing yang tidak divaksinasi terus dijual, seperti yang dilakukan oleh peternak anjing.
"Peternak anjing adalah salah satu masalah terbesar dan menurut saya jika pemerintah serius dan ingin menghentikan rabies, mereka harus mendesak orang-orang untuk berhenti menternakkan anjing," katanya.
"Sembilan puluh persen orang [penjual anjing di pinggir jalan] yang kami ajak bicara tidak memvaksinasi anjing ataupun anak-anaknya."
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Serangan Udara Israel Menewaskan Hampir 500 Jiwa