jpnn.com, KUPANG - Angka stunting di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih cukup tinggi. Berdasar hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, NTT memiliki 15 Kabupaten berkategori Merah.
Pelabelan status merah tersebut berdasarkan prevalensi stuntingnya masih di atas 30 persen.
BACA JUGA: Masalah Stunting Masih Jadi PR Besar Provinsi NTT
Data tersebut diambil dari keterangan tertulis yang dikeluarkan Biro Umum dan Humas Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Berdasarkan Lima Kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) masuk dalam prevalensi sepuluh daerah dengan angka kekerdilan atau stunting tertinggi dari 246 Kabupaten/Kota yang menjadi prioritas percepatan penurunan stunting di Indonesia.
BACA JUGA: Muslimat NU Diminta Menjaga Anggota Keluarga dari Paparan Radikalisme
Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) lima kabupaten tersebut antara lain Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, dan Manggarai Timur.
Bahkan Kabupaten Timor Tengah Utara menempati urutan kedua yang memiliki prevalensi stunting tertinggi di Indonesia karena berada di atas 46 persen.
Tingginya angka stunting di NTT menjadi perhatian khusus bagi Dinas Kesehatan Kota Kupang dalam penanganan stunting.
Menurut Riris Yunita Damanik S.Gz. MPH.Si ahli dari Dinas Kesehatan Kota Kupang, sudah seharusnya edukasi gizi menjadi prioritas di NTT mengingat angka kejadian stunting di NTT masih sangat tinggi.
Selain itu kebiasaan-kebiasaan masyarakat terkait gizi anak memang memgkhawatirkan.
“Masih banyak anak yang belum enam bulan, tetapi sudah diberi pisang dan bubur. Juga yang menjadi persoalan adalah ibu-ibu lebih suka memberi MPASI untuk anak berupa bubur instan, padahal banyak sumber pangan yang bisa diolah.”
“Termasuk susu kental manis, masyarakat masih terbiasa menggunakannya sebagai minuman susu untuk anak,” kata Riris Yunita Damanik kepada wartawan di tengah acara sosialisasi dan edukasi yang dilksanakan oleh YAICI Bersama PP Muslimat NU di Kupang, Rabu (16/3).
Lebih lanjut, Riris juga mengatakan akan mendorong agar perhatian terhadap edukasi mengenai cara konsumsi susu kental manis menjadi perhatian dinas setempat karena selama ini belum ada sosialisasi mengenai bahaya konsumsi kental manis.
Senada dengan Riris Yunita Damanik, Erna Yulia Soefihara, Ketua Bidang Kesehatan PP Muslimat NU yang hadir sebagai pembicara mengatakan PP Muslimat NU akan terus menyampaikan edukasi mengenai gizi kepada masyarakat terutama kader-kader NU.
Sebab, pemahaman mengenai gizi berkaitan langsung dengan kesehatan anak dalam keluarga.
“Kami di NU sendiri tidak hanya konsen di bidang agama saja, tetapi juga di bidang pendidikan dan salah satunya kesehatan sehingga kami merasa bahwa stunting ini perlu ditangani bersama," jelas Erna Yulia Soefihara.
Erna juga menambahkan selain di Kupang, NTT, PP Muslimat NU bersama YAICI juga telah melakukan edukasi di Jawa Timur, yakni di Banyuwangi dan Sidoarjo. Erna menegaskan edukasi
ini untuk membatasi konsumsi gula harian. “Gula adalah media yang paling disenangi sel-sel kanker. Jadi sebaiknya konsumsi makanan minuman tinggi gula ini sebaiknya dihindari. Makanya penderita
kanker sebaiknya membatasi konsumsi gula, apalagi susu kental manis, ini sangat disukai oleh sel-sel kanker untuk tumbuh,” pungkas Erna.
Arif Hidayat, Ketua Harian YAICI dalam kesempatan itu menjelaskan edukasi yang telah dilakukan YAICI bersama PP Muslimat NU. Diantara yang telah dilakukan adalah edukasi dan sosialisasi melalui kader, edukasi langsung ke masyarakat, penelitian hingga penggalian data langsung ke masyarakat yang mengonsumsi susu kental manis.
“Persoalan-persoalan yang kami temukan di lapangan itu beragam. Ada yang orang tua memang tidak tahu mengenai kandungan susu kental manis, atau bahkan ada yang sudah tahu tapi masih memberikan susu kental manis untuk anaknya. Alasannya juga macam-macam, ada yang karena lebih murah atau anaknya lebih suka,” jelas Arif.(dkk/jpnn)
Redaktur : Budi
Reporter : Muhammad Amjad