jpnn.com, JAKARTA - Kans Partai Golkar untuk mengusung Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dinilai besar.
Pangkalnya, elektabilitas Ketua Umum (Ketum) DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto sampai sekarang belum menjanjikan.
BACA JUGA: Elektabilitas Airlangga Rendah, Golkar Bakal Menanggung Beban Berat
"Sejak meninggalkan kultur konvensi, Golkar cenderung menjagokan nonkader sebagai capresnya. Ini kecuali pada 2009 lalu, yang bulat mengusung JK (Jusuf Kalla)," kata pengamat politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Usni Hasanudin saat dihubungi, Sabtu (22/1).
"Pencalonan JK saat itu bisa kita maklumi karena dia aktif menjadi Wapres dan berpeluang mengalahkan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono)," imbuh dia.
BACA JUGA: Pentolan Golkar Jabar Sebut Permintaan Maaf Arteria Dahlan Tidak Cukup
Jelang Pemilu 2014, sambung Usni, upaya mengusung Aburizal Bakrie, ketum Golkar saat itu, malah memicu konflik di tubuh partai beringin.
"Selain karena faktor Jokowi yang berpasangan dengan JK, ini juga dipengaruhi elektabilitas Ical yang rendah sehingga tidak menjual," bebernya.
BACA JUGA: Wali Kota Bekasi Ditangkap KPK, Azis Golkar: Pak Airlangga Tidak akan Mencampuri
Pada 2019, lanjut Kaprodi Ilmu Politik FISIP UMJ itu, Golkar kehilangan momentum lantaran Airlangga baru terpilih sebagai ketum..
Ia menggantikan Setya Novanto yang terjerat kasus korupsi pengadaan KTP-el.
"Nah, Golkar sekarang mencoba kembali mengulang pengalaman 2014, yang menjagokan Ketumnya sebagai capres. Tapi, ini berat karena elektabilitas Airlangga masih rendah. Seperti Ical, figur Airlangga juga tidak menjual," ungkapnya.
Usni pun mengingatkan, Golkar terancam kembali disandera konflik internal sehingga dukungannya terpecah pada pilpres apabila bersikukuh memasang Airlangga.
"Ini sangat mungkin terjadi karena shareholder di Golkar majemuk," ujar dia.
Dirinya berpandangan, Anies dapat menjadi alternatif bagi Golkar dan tetap mengakomodasi kepentingan partai sekalipun bukan kader.
Alasannya, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu sampai sekarang belum resmi menjadi anggota partai mana pun.
"Ya, kehadiran Anies dalam berbagai kegiatan Partai Golkar bahkan menjadi saksi pernikahan anak elite Golkar (Nurdin Halid) bisa menjadi sinyalemen Partai Golkar, setidaknya beberapa faksi di dalamnya, mulai melupakan Airlangga," bebernya.
Apalagi, tambah Usni, Anies termasuk satu dari beberapa figur yang elektabilitasnya cenderung stabil.
"Kalau Golkar ke Prabowo (Gerindra) atau Ganjar (PDIP) justru akan semakin kecil porsinya," prediksi dia.
"Partai-partai lain yang tidak memiliki figur tetapi ingin berpartisipasi sejak awal sebenarnya juga bisa menjagokan Anies sejak dini, seperti PPP, PAN, PKB, dan PKS," lanjutnya.
Meskipun demikian, dia menilai, Airlangga masih berkesempatan maju pada Pilpres 2024 jika ditempatkan sebagai cawapres.
Ditambah lagi, Partai Golkar tidak bisa mengusung pasangan capres-cawapres tanpa berkoalisi.
"Yang aman, kan, cuma PDIP karena memenuhi ambang batas. Kalau Golkar harus berkoalisi dan karena elektabilitas Airlangga tidak menjanjikan tetapi suara partai kuat, ya, dia berpeluang menjadi cawapres. Dan akan lebih kuat apabila disandingkan dengan Anies untuk bisa menyaingin nama-nama yang ada, seperti Prabowo dan Ganjar," tutup Usni.
Ketua DPP Partai Golkar Firman Soebagyo sebelumnya menyatakan, duet Airlangga dan Anies berpeluang terwujud mengingat politik dinamis.
Namun, Partai Golkar memiliki ketentuan dalam menetapkan jagoannya pada pilpres mendatang.
"Ya, itu nanti mekanisme partai akan kita tempuh," ucapnya, beberapa waktu lalu.
Wacana duet Airlangga-Anies kali pertama dimunculkan Sekretaris DPD Partai Golkar DKI Jakarta, Basri Baco.
Pasangan ini bahkan disebutnya dapat menandingi wacana Prabowo Subianto-Puan Maharani. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil