Elektabilitas Airlangga Rendah, Golkar Bakal Menanggung Beban Berat

Minggu, 16 Januari 2022 – 17:43 WIB
Ketua Umum DPP Partai Golkar sekaligus Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Elektabilitas Airlangga Hartarto yang sangat rendah menjadi peringatan terkait pencalonan dirinya sebagai calon presiden 2024.

Rendahnya tingkat keterpilihan sang ketum itu juga bakal menjadi beban Partai Golkar dalam Pemilu 2024.

BACA JUGA: Elite Golkar Menyarankan Airlangga Melihat Sisi Positif dari Kritik

“Ini harus menjadi wake up call, apakah Airlangga maju jadi capres atau mengubah posisi menjadi cawapres,” ujar Dosen Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Silvanus Alvin dalam keterangan kepada wartawan di Jakarta, Minggu (16/1).

Lalu, apa yang membuat Airlangga gagal mendongkrak elektabilitas? Alvin tegas menyatakan strategi gaya lama alias jadul masih diterapkan di tengah era digital seperti saat ini. Salah satu contohnya dengan menebar banyak baliho.

BACA JUGA: Laksanakan Perintah Ketum dan Sekjen, Deddy Sitorus Bersama Risma Turun ke Lokasi Banjir Kaltara

“Padahal baliho itu hanya dilihat sambil lalu saja. Di era digital saat ini komunikasi politik sudah tidak bisa gaya lama, kalau masih pakai model begini elektabilitasnya ya pasti ambyar," paparnya.

Oleh karena itu, Airlangga harus menjalankan praktik dan pola pikir di jalur digital. Dalam kajian komunikasi politik di kenal level komunikasi politik berdasarkan generasi dan media yang digunakan.

BACA JUGA: Fahmi Sebut Kekosongan Posisi Pangkostrad Terlalu Lama Kurang Baik bagi TNI, Begini Analisisnya

“Misalnya Facebook (Meta) didominasi Generasi X. Kemudian ada instagram dan YouTube yang didominasi generasi milenial. Dan, tidak kalah penting ada TikTok di generasi Z," kata Alvin.

Untuk itu, promosi diri yang dilakukan sebaiknya dilaksanakan secara digital di media sosial tersebut. Terlebih, pesaing Airlangga seperti Ganjar, Anies, Sandiaga Uno, Erick Thohir, mayoritas sudah punya YouTube Channel sendiri.

“Mereka menerapkan politainment di ranah digital karena publik mengenal politisi dari medsos. Siapa yang viral dan 'happening' di medsos bisa mengonversi popularitas tersebut jadi nilai elektabilitas," beber Alvin.

Selain itu, lanjutnya, Airlangga juga tidak bisa hanya berusaha menang di survei. Dalam ranah komunikasi digital ada pemahaman akan sentiment analysis. Data berupa komentar publik di medsos bisa langsung memberikan gambaran jelas elektabilitas Airlangga.

Maka dari itu, langkah Airlangga ke depan dalam komunikasi politiknya perlu berubah. Jika masih terus seperti saat ini maka langkah menjadi capres akan sangat terjal.

"Perolehan suara Golkar saat ini 12,8 persen sehingga butuh dukungan dari partai lain. Bila popularitas dan elektabilitas Airlangga tidak berubah maka sulit mencari partai yang mau mendukung Airlangga," pungkas Alvin.

Sebelumnya, Inisiator Gerakan Muda Partai Golkar (GMPG) ‎Sirajuddin Abdul Wahab mengatakan elektabilitas Airlangga Hartarto sangatlah memprihatinkan.

Hal ini merujuk dari data survei Voxpol Center yang menyebutkan Airlangga Hartarto hanya mendapatkan 0,8 persen. Sementara di Indikator Politik Indonesia sebesar 0,2 persen.

“Selain elektabilitas yang defisit, hal ini diperparah dengan elektabilitas ketua umum yang diusung menjadi capres yang memprihatinkan dan memalukan,” ujar Sirajuddin dalam jumpa pers di kawasan Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis (13/1).

“Selain elektabilitas yang defisit, hal ini diperparah dengan elektabilitas ketua umum yang diusung menjadi capres yang memprihatinkan dan memalukan,” ujar Sirajuddin dalam jumpa pers di kawasan Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis (13/1).

Oleh karena itu, lanjut Sirajuddin, buruknya elektabilitas Airlangga Hartarto ini berdampak secara sistematik dan epistemik terhadap citra Partai Golkar. Padahal struktur partai dan anggota DPR dari Golkar sudah menebar baliho terhadap Airlangga.

“Namun hal itu faktanya tidak memberi dampak signifikan, hal ini dapat dianggap bahwa masyarakat tidak tergerak memberikan dukungan, jika ada kenaikan maka kenaikan itu dapat dipastikan sebagai angka yang perlu dipertanyakan sumber dan kridebilitasnya,” kata Sirajuddin.(fri/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler