jpnn.com, JAKARTA - Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Anita Ashvini Wahid menilai pemerintah tampak tidak mau mendengarkan opini publik dalam penanganan pandemi coronavirus disease 2019 (COVID-19).
Pemerintah, kata dia, cenderung memaksakan opini yang dikehendakinya dalam penanganan pandemi COVID-19. Pemerintah berusaha membuat publik menerima apa pun yang diinginkan.
BACA JUGA: Wajib Dibaca! Pesan MenPAN-RB Buat PNS pada Masa Pandemi Covid-19
"Pemerintah tidak bersedia mendengarkan opini publik," kata Anita diskusi daring "Mengawal Bansos dan Dana COVID-19: Partisipasi Masyarakat, Peran Media, dan Inisiatif Bersama" pada Minggu (17/5) malam.
Menurut Anita, tidak sudinya pemerintah mendengarkan opini publik terlihat dengan kerja computesional propaganda di media sosial, seperti penggunaan buzzer, bot, dan troll.
BACA JUGA: KRI Sultan Hasanuddin-366 Amankan Tripartite Meeting UNIFIL
Terdapat pasukan di dunia maya yang mendukung pemerintah. Hal itu membuat kerja pemerintah dalam menanggulangi COVID-19 tidak fokus.
"Nah, salah satu hal pemerintah yang sangat distracted ini, bagaimana penggunaan computesional propaganda sebenarnya di dalam hal ini," ucap dia.
BACA JUGA: Cegah Covid-19, Politikus Hanura Mervin Komber Dorong Penutupan Sementara PT Freeport
Menurut dia, penggunaan computesional propaganda mulai terlihat sejak ramai penularan COVID-19 di Wuhan, China.
Kala itu, masyarakat mulai merasa khawatir dengan kemungkinan penyebaran COVID-19 masuk Indonesia. Di sisi lain, pemerintah bersikap santai menyikapi COVID-19.
"Jalannya seperti apa? Berusaha untuk memperlihatkan ke publik bahwa langkah pemerintah dalam melihat situasi itu adalah benar, yakni cuek saja," ucap ketiga Presiden RI Keempat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu.
Berjalan waktu, kata dia, computesional propaganda tidak pernah berhenti. Terutama, ketika Indonesia sudah menyatakan pandemi atas COVID-19.
Setelah penetapan pandemi, muncul pihak yang mengkritik kebijakan pemerintah menanggulangi pandemi COVID-19.
Di sisi lain, pihak pengkritik mendapatkan hantaman di media sosial, dari para troll yang membawa narasi mendukung pemerintah.
"Ketika ada yang mengkritik atau input, ada beberapa orang di sosial media yang kencang memberikan masukan. Masukannya keras, tetapi tidak menggunakan kata-kata sopan, serangan terhadap ke orang-orang ini oleh para troll, itu kenceng banget," ujar dia.
Kritik seakan terus berlanjut saat pemerintah mulai menyalurkan bantuan sosial (Bansos) ke rakyat terdampak pandemi. Pasukan media sosial terus bekerja mendukung pemerintah.
"Termasuk masalah bansos, masalah penanganan COVID-19. Dengan cara apa? Dengan cara menggunakan mesin computesional propaganda tadi, untuk membuat seakan volume orang yang mendukung pemerintah jauh lebih banyak daripada yang tidak setuju," papar dia.
"Ini yang akhirnya distrust ke pemerintah jadi besar. Publik sangat melihat penggunaan computesional propaganda ini,” pungkas dia.(mg10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan