Anjir & Anjay

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 02 Januari 2022 – 15:48 WIB
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Anjir adalah bahasa gaul untuk menyebut anjing. Anak-anak gaul milenial sering mamakai istiah itu sehari-hari. Konotasinya tidak selalu negatif, sebaliknya istilah itu sering dipakai untuk menunjukkan ekspresi kekaguman atau kegembiraan.

Anak-anak milenial juga menyebut anjir dengan anjay. Dua-duanya berarti anjing. Menyebut kata anjing dalam percakapan sehari-hari dianggap kasar. Karena itu anak-anak gaul mencari padanannya yang lebih halus, dan ditemukanlah kata anjir dan anjay.

BACA JUGA: Pengirim Kepala Anjing ke Pesantren Habib Bahar Tidak Pancasilais, Brutal!

Kosakata ini sempat menjadi perdebatan publik ketika menjadi viral pada akhir 2020. Ketika itu muncul kekhawatiran terhadap dampak negatif dari penggunaan istilah itu.

Banyak kalangan yang meminta supaya istilah itu tidak dipakai dalam pergaulan. Dalam praktiknya anjir atau anjay tetap dipakai sebagai bahasa gaul sampai sekarang.

BACA JUGA: Reza Indragiri Pengin Pengirim Kepala Anjing ke Pesantren Habib Bahar Dipidana

Anjir atau anjay muncul lagi menjadi perdebatan beberapa hari terakhir. Kali ini bukan soal istilah anjir yang menjadi kontroversi, tetapi karena ada upaya teror yang dilakukan oleh seseorang terhadap penceramah Habib Bahar Smith (HBS) dengan cara mengirim paket berisi kepala anjir.

Tidak tanggung-tanggung. HBS menerima tiga kepala anjir sekaligus dalam satu paket yang dikirim ke pesantrennya Jumat (31/12).

BACA JUGA: Pesantren Habib Bahar Diteror Kiriman Kepala Anjing, Chandra Angkat Bicara

Tidak diketahui siapa pengirimnya, tetapi paket ini diperkirakan mempunyai hubungan dengan berbagai kontroversi pernyataan HBS yang viral di media sosial.

Pihak HBS menganggap pengiriman paket anjir itu sebagai ancaman. Tiga potongan kepala anjing dianggap sebagai simbol ancaman kematian. Hal itu merupakan bagian kekerasan simbolik yang menyiratkan ancaman nyawa.

Ini bukan kali pertama HBS mendapat ancaman kekerasan. Sebelumnya dia mendapat ancaman dari beberapa orang yang memakai kostum loreng yang secara eksplisit menyuarakan ancaman terhadap HBS yang dianggap menyinggung pimpinan dan institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

HBS mempunyai gaya orasi yang berapi-api. Gaya pidatonya ketika berceramah keras dan sering tajam. Hal yang sama dilakukan oleh pendakwah asal Jawa Timur Sugi Nur Rahardja yang lebih dikenal sebagai Gus Nur.

Dua pendakwah itu punya gaya ceramah yang mirip karena sama-sama tajam dan bertenaga.

HBS yang berasal dari Sulawesi berbicara dengan intonasi tinggi dengan dialek Sulawesi campuran Betawi. Gus Nur yang asli Jawa Timur sangat kental dengan dialek Jawa Timur yang medok.

Dalam berbagai unggahannya Gus Nur sering memakai istilah-istilah yang sering dianggap sebagai umpatan.

Dalam perspektif budaya, gaya bicara masyarakat Sulawesi dan Jawa Timur bisa dikategorikan sebagai ‘’low context culture’’ atau budaya konteks rendah. Budaya ini ditandai dengan cara berkomunikias yang lebih langsung dan tidak berbelit-belit.

Dalam masyarakat yang berbudaya konteks rendah percakapan dilakukan secara lebih egaliter dan akrab tanpa ada strata atau tingkatan sosial. Karena itu percakapannya sering terdengar kasar dan terkadang diselipi dengan ungkapan-ungkapan yang terasa sebagai makian.

Namun, dalam tata pergaulan masyarakat konteks rendah makian itu justru dianggap sebagai ungkapan keakraban dan kedekatan.

Sebaliknya, masyarakat berbudaya konteks tinggi banyak mempergunakan bahasa simbolis dalam berkomunikasi. Selain itu bahasa yang dipakai juga mempunyai strata untuk membedakan status sosial dengan banyak jenjang dan tingkatan.

Dalam Bahasa Jawa ada bahasa ‘’ngoko, kromo, dan kromo inggil’’. Ngoko dipakai untuk berkomunikasi dengan seseorang yang sederajat, kromo dipakai untuk berbicara kepada orang yang lebih tua atau lebih tinggi derajatnya, dan kromo inggil adalah bahasa halus tertinggi yang dipakai di kalangan elite sosial Jawa.

HBS dan Gus Nur memakai gaya komunikasi konteks rendah dalam ceramah-ceramahnya, karena itu ceramahnya sering terdengar keras dengan idiom-idiom yang terasa sebagai caci-maki.

Karena itu pula gaya komunikasi konteks rendah ini lebih berpotensi terjaring oleh pasal ujaran kebencian seperti yang dialami oleh Gus Nur.

Hal yang sama dilakukan oleh HBS. Dalam salah satu ceramahnya yang viral dia mengancam akan menghabisi orang-orang yang dianggap berkhianat terhadap Habib Rizieq Shihab.

Pernyataan HBS ini menjadi viral di media sosial dan menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Menghabisi dikonotasikan sebagai membunuh, meskipun sebenarnya tidak selalu demikian.

HBS juga menuai kontroversi ketika berbicara mengenai KSAD Jenderal Dudung Abdurrachman. Dalam ceramah itu HBS menyindir Jenderal Dudung yang disebutnya sebagai jenderal baliho yang menurunkan baliho Habib Rizieq. HBS mempertanyakan Jenderal Dudung yang tidak datang ke Lumajang untuk membantu korban letusan Gunung Semeru.

Ceramah itu beredar luas menjadi viral dan mendapat reaksi dari banyak kalangan, termasuk dari beberapa orang yang memaki seragam loreng.

Jenderal Dudung diketahui sudah berkunjung ke Lumajang dan menyerahkan bantuan kepada korban Gunung Semeru. Rupanya, ceramah HBS sebelum kunjungan Dudung ke Semeru.

HBS mendapat ancaman verbal dari orang berpakaian loreng. Dengan suara lantang pria itu menyatakan akan mencari HBS karena dianggap sudah menghujat Jenderal Dudung dan menyinggung institusi TNI.

Dalam video itu pria berseragam loreng terlihat memegang sebuah kayu dan terlihat sangat provokatif. Ia mengingatkan HBS supaya tidak memprovokasi masyarakat dengan menghina TNI. Pria loreng itu menumpahkan kemarahannya dan mengancam akan mencari HBS.

HBS menjadi langganan laporan ujaran kebencian. Kali ini Polda Jawa Barat menerima laporan ujaran kebencian yang diduga dilakukan HBS dalam sebuah ceramahnya di wilayah Jawa Barat.

Belum jelas apa materi ujaran kebencian itu. HBS yang sudah didatangi anggota Polda Jawa Barat mengakui bahwa ia melakukan ujaran kebencian. Namun, ujaran kebencian itu ditujukan kepada mereka yang melakukan kezaliman, kejahatan, dan kemungkaran.

Puncak dari kontroversi terjadi ketika HBS menerima paket tiga kepala anjing yang dilempar ke halaman Pesantren Tajul Alawiyyin milik HBS. Ancaman simbolis ini menuai kecaman dari beberapa pihak.

Kalangan aktivis pecinta satwa menyesalkan pembunuhan dan mutilasi yang dilakukan terhadap satwa-satwa itu. Tindakan pembantaian binatang ini dianggap biadab dan tidak berprikebinatangan.

Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menganggap hal itu sebagai teror brutal terhadap HBS dan pengacaranya. Ia melihat hal itu sebagai ungkapan yang bukan sekadar menyiratkan kebencian tetapi juga ungkapan kemarahan dan sakit hati yang sangat negatif.

Pembunuhan binatang secara kejam tidak dibenarkan menurut etika dan hukum. Karena itu para pelakunya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara etika dan hukum. Teror itu juga implisit membawa pesan maut yang mengancam jiwa, karena itu pelakunya harus bertanggung jawab, dan HBS harus mendapat perlindungan.

Pengacara HBS melaporkan kasus ini ke polisi. Ancaman simbolis ini dianggap sangat serius dan bisa membahayakan nyawa HBS. Sebagai warga negara HBS mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan dari polisi. Sebagai warga negara nyawa HBS harus dilindungi oleh negara dari ancaman dalam bentuk apa pun.

Polisi punya tugas memproses laporan masyarakat mengenai dugaan ujaran kebenecian HBS. Polisi juga punya tugas yang sama untuk memproses laporan HBS yang terancam oleh teror kiriman tiga kepala anjing itu.

Polisi juga punya kewajiban mengusut ancaman verbal terhadap HBS yang berpotensi mengancam keselamatan dan nyawa HBS. (*)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler