Antara Kasus JIS, Si Emon di Cirebon dan Rekayasa Sistematis

Selasa, 14 April 2015 – 05:38 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Guru Besar Fakultas Psikolog Universitas Atmadjaya Jakarta Irwanto menilai kasus dugaan kekerasan seksual di JIS merupakan salah satu bukti opini publik telah berhasil merekayasa fakta peristiwa yang sesungguhnya terjadi.

Akibatnya, pengungkapan kasus ini menjadi tidak netral dan para guru serta pekerja kebersihan harus menanggung dampak hukum dari peristiwa yang tidak pernah mereka lakukan.

BACA JUGA: Jokowi Diminta tak Usah Urusi Jakarta

Menurut Irwanto, kasus JIS ini sangat aneh jika dibandingkan kasus pelecehan seksual lain yang damage-nya jauh lebih besar. Publik dan aparat penegak hukum diarahkan untuk menghakimi JIS secara cepat dengan opini yang terstruktur dan massif.

“Kondisi inilah yang tidak disadari oleh sebagian penegak hukum kita, mereka ikut terjebak dalam pusaran rekayasa," kata Irwanto, Selasa (14/4) kepada wartawan.

BACA JUGA: Pertemuan Ketua DPRD DKI dengan Jokowi hanya Meneruskan Arahan Mega

Dia mengatakan, targetnya adalah segera menemukan pelakunya, menghukumnya dan memenjarakannya. Opini publik yang begitu luar biasa menghakimi JIS ikut menentukan putusan di dalam ruang sidang.

"Semoga majelis banding tidak terpengaruh opini publik, tapi benar-benar mengungkap kebenaran yang sesungguhnya,” ujar Irwanto.

BACA JUGA: APBD Jakarta Rp 69,2 Triliun, Bank DKI tak Kebagian PMP

Ia lantas membandingkan kasus dugaan kekerasan seksual di JIS dengan kasus serupa yang melibatkan Andri Sobari alias Emon di Sukabumi, Jawa Barat.

Dalam kasus Emon, korbannya mencapai lebih dari 125 anak. Tapi pemberitaan kasus ini sangat terbatas, di samping itu pendampingan dari lembaga anak juga nyaris tak terdengar.

Sementara dengan posisi JIS yang dipersepsikan sebagai sekolah asing, sekolah anak orang kaya, bahkan disebutkan mewakili sekolah kapitalis, membuat pembelaan terhadap siswa terduga korban sungguh luar biasa.

Bahkan publik begitu mudah percaya ketika polisi mengabarkan seorang pekerja kebersihan PT ISS yang dijadikan tersangka kasus ini, meninggal bunuh diri akibat minum cairan pembersih lantai saat penyidikan di Polda Metro Jaya.

Belakangan bukti-bukti kuat menyebutkan bahwa Azwar, demikian nama pekerja kebersihan nahas itu, menderita banyak luka di tubuh dan kepalanya. Azwar pun dinyatakan tidak sedang bekerja ketika tuduhan sodomi dialamatkan kepadanya.

Menurutnya, bukti-bukti yang digunakan untuk menjerat pekerja kebersihan ISS dan dua guru JIS sangat lemah. Keterangan saksi korban yang masih di bawah 10 tahun harus diuji lagi. Anak itu harus didampingi psikolog dan hasilnya masih harus diuji lagi oleh seorang psikolog.

"Jadi, proses penyidikan dalam kasus ini yang demikian cepat menjadi tidak lazim dan sangat aneh,” jelas Irwanto.

Dengan melihat rekaman video saat rekonstruksi penyidik, saksi korban masih tetap bermain. Dia dengan ceria berlarian dan tidak terganggu saat polisi dan orang tuanya mencari TKP. Hal ini menunjukkan anak tidak trauma.

"Saya sudah melihat rekaman videonya. Kalau anak korban sodomi berkali-kali akan sangat trauma bila datang ke tempat dia disakiti," tegasnya.

Digunakannya JIS sebagai panggung oleh pihak-pihak tertentu semakin terlihat dengan adanya gugatan uang senilai US$ 125 juta oleh ibu pelapor.

Bahkan, si ibu sampai harus merevisi nilai gugatannya dari sebelumnya US$ 12,5 juta kepada JIS. Munculnya gugatan senilai triliunan rupiah yang hampir berbarengan dengan laporan kasus ini ke polisi menjadi bukti kuatnya unsur rekayasa dalam kasus JIS.

Koordinator KontraS, Haris Azhar, menilai kepolisian telah menggunakan hukum untuk mengadu domba Kejaksaan Agung dan Majelis Hakim.

Hal ini terbukti dari putusan hakim yang menggunakan seluruh materi BAP dalam memutuskan pidana kepada pekerja kebersihan ISS dan dua guru JIS.

"Tuduhan kekerasan seksual terhadap tiga siswa JIS adalah sebuah rekayasa sistematis. Prosesnya yang begitu singkat dan informasi yang berubah-ubah menjadi bukti bahwa kasus ini murni kriminalisasi dengan motif utama materi,” ujar Haris secara terpisah.

Seperti diketahui pada Kamis (2/4), majelis hakim yang diketuai oleh Nuraslam Bustaman dengan anggota Achmad Rivai dan Baktar Jubri Nasution telah menjatuhkan vonis bersalah kepada kedua guru JIS. Neil dan Ferdi dihukum pidana penjara selama 10 tahun dan membayar denda senilai Rp 100 juta subsider 6 bulan masa tahanan.

Sementara kelima pekerja kebersihan PT ISS sebelumnya telah divonis 7-8 tahun penjara. Mereka adalah Agun Iskandar, Zainal Abidin, Syahrial, Afriska dan Virgiaman Amin. Mereka diwajibkan membayar ganti rugi Rp 100 juta sibsider 6 bulan kurungan. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ahok Pastikan Pemprov DKI Terus Berikan KJP


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler