jpnn.com, JAKARTA - Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (Mentan SYL) meminta kepada seluruh jajarannya untuk segera melakukan langkah strategis dan antisipasi dalam menghadapi El Nino.
Berdasarkan data BMKG, El Nino diperkirakan mulai terjadi pada Juli-Agustus 2023.
BACA JUGA: Kementan Ajak Penyuluh dan Petani Perkuat Sinergi Mengatasi El Nino
Mentan SYL juga memastikan jajaran Kementerian Pertanian (Kementan) telah siap siaga di lapangan untuk melakukan langkah-langkah preventif dalam menghadapi ancaman global El Nino.
Dia juga mengharapkan persiapan pemerintah daerah untuk ikut serta membantu para petani yang kesulitan dalam menghadapi iklim ekstrem ini.
BACA JUGA: Pakar Sarankan Kementan Siapkan Strategi untuk Menghadapi El Nino
"Semua pihak harus bergerak melakukan kolaborasi, adaptasi, dan antisipasi terhadap berbagai tantangan yang ada, termasuk dalam menghadapi cuaca ekstrem El Nino yang diperkirakan berlangsung hingga awal tahun 2024," tegas Mentan SYL.
Menindaklanjuti arahan Mentan SYL, Direktur Jenderal Hortikultura Prihasto Setyanto mengambil langkah cepat dengan berkolaborasi dan langkah konkret dengan membentuk Tim Early Warning System (EWS) dan Pengelolaan Tanam Hortikultura (SIPANTARA).
BACA JUGA: Hadapi Ancaman El Nino, Mentan SYL Minta Jajaran Kementan Dampingi Petani di Lapangan
Rapat koordinasi dipimpin langsung Dirjen Prihasto dihadiri semua tim yang terdiri dari BMKG, Badan Informasi Geospasial (BIG), BRIN, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, BSIP Agroklimat dan Hidrologi Pertanian.
Dirjen Prihasto yang juga ahli lingkungan dan agroklimat itu menjelaskan tim EWS SIPANTARA tidak hanya membuat prediksi (peringatan dini) untuk 3-5 bulan ke depan.
"Namun yang terpenting adalah langkah konkret dan kebijakan serta rekomendasi apa yang bisa dilakukan untuk antisipasi El Nino ke depan," kata Dirjen Prihasto.
Dia menegaskan produksi dan ketersediaan hortikultura harus tetap tersedia dan aman dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Direktur Perlindungan Hortikultura Jecvy Hendra melakukan koordinasi dengan BPTPH seluruh Indonesia dengan mempercepat kegiatan yang terkait dengan penanganan dampak perubahan iklim terutama antisipasi El Nino.
Jekvy menjelaskan eberapa kegiatan mitigasi akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
"Para POPT kami segera turun lapangan melakukan fasilitasi DPI seluas 250 hektare, fasilitasi klinik sebanyak 150 unit, gerakan pengendalian hortikultura seluas 6.800 hektare di kampung hortikultura, dan Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PPHT) sebanyak 120 kelompok," papar Jekvy.
Dia berharap semua kegiatan tersebut dilakukan secara cepat dan tepat sasaran dalam rangka antisipasi El Nino di lapangan.
Berdasarkan hasil monitoring dan prediksi iklim oleh BMKG dan beberapa Pusat Prediksi iklim dunia, menyatakan bahwa gangguan iklim global La Nina sudah berakhir menjadi netral pada Maret-April 2023.
Namun demikian mulai pertengahan 2023 periode Juni-Juli-Agustus diprediksi berpotensi terjadi El Nino dengan peluang 70-90 persen.
Di sisi lain, fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) berada pada fase netral dan diprediksi IOD akan menuju fase postif.
Kombinasi dari 2 fenomena tersebut berpotensi berdampak pada berkurangnya curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia.
Kondisi ini diperparah lagi, karena pada periode tersebut Indonesia berada pada puncak dan akhir musim kemarau pada Agustus sampai dengan September 2023.
Berdasarkan prakiraan sifat hujan bulanan untuk Juni hingga November 2023 menunjukkan kondisi bawah normal (lebih kering), terutama untuk wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian Tengah dan Selatan dan Kalimantan bagian Tengah dan Selatan.
Menyikapi peluang El Nino pertengahan 2023, tim BMKG memberikan masukan beberapa langkah aksi dan antisipsi dini yang perlu dilakukan pada subsektor hortikultura.
1). Perlu Antisipasi Dini menghadapi Musim Kemarau 2023, terutama pada wilayah yang diprediksi akan kering bahkan lebih kering khususnya wilayah sentra hortikultura pada komoditas prioritas, seperti cabai dan bawang merah.
2). Membangun Sistem Peringatan Dini (EWS SIPANTARA) agar bisa membuat peringatan dini pada sektor hortikulutura dengan memetakan wilayah kering/basah, potensi serangan OPT, rekomendasi/aksi antisipasi, jadwal tanam dalam rangka menjaga ketahanan pangan nasional.
3). EWS SIPANTARA bisa dijadikan salah satu contoh collaborative dan inisiatif program Global 'Early Warning for All' 2023-2027.
Peneliti Ahli Madya BRIN Aris Pramudia menyampaikan berbagai lembaga Internasional mencatatkan bahwa anomali iklim global El Nino akan terjadi pada setengah tahun terakhir pada 2023.
Kondisi anomali iklim global tersebut dipastikan berdampak terhadap kondisi curah hujan di Indonesia khususnya, wilayah selatan khatulistiwa.
Implikasi yang diperkirakan akan dihadapi adalah adanya kondisi curah hujan bawah normal akhir musim kemarau 2023 serta mundurnya awal musim hujan 2023/2024.
Aris juga tak menampik jika ketersediaan air bagi tanaman menjadi tantangan yang perlu dihadapi dalam pengelolaan yang adaptif.
Ada beberapa langkah antisipatif dampak negatif penurunan curah hujan di lahan pertanian:
1). Tetap melakukan pemantauan dan mengakses informasi perkembangan prediksi iklim dari pihak berwenang.
2). Melakukan langkah antisipasi dampak kekeringan dan pengendalian OPT dengan menyiapkan sistem peringatan dini kekeringan dan informasi jadwal tanam adaptif.
3). Menyiapkan sumber air alternatif yang tersedia di sekitar pertanaman
4). Penyiapan dan penggunaan varietas tahan kering, berumur genjah dan hemat air.
5). Komunikasi dan koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait.
Pakar pengembang software dan dosen Teknik Informatika, Sekolah Vokasi, Universitas Sebelas Maret, Dharmawan menyatakan menambahkan sistem EWS SIPANTARA yang merupakan kolaborasi dengan stakeholder terkait adalah riset and development yang menggunakan beberapa algoritma AI untuk memberikan rekomendasi jadwal tanam optimal berdasarkan iklim kepada petani cabai dan bawang merah di Indonesia.
Algoritma AI juga digunakan untuk peringatan dini akibat anomali iklim serta rekomendasi mitigasi risikonya.
Harapannya stakeholder pertanian dan petani cabai bawang merah di Indonesia tetap dapat menjaga produksi.
Dharmawan menjelaskan pengembangan software EWS di desain tepat guna agar digunakan dengan mudah dan hilirisasi informasinya dapat diterima oleh stakeholder pertanian sampai petani cabai bawang merah di seluruh Indonesia.
"Aplikasi EWS ini nantinya dapat berjalan di beberapa platform seperti Mobile android, IOS, Website dan desktop", jelasnya.
Senada dengan hal tersebut, Ferrary dari Badan Informasi Geospasial (BIG) menjelaskan sistem informasi berbasis peringatan dini dampak perubahan iklim (EWS SIPANTARA) yang saat ini dikembangkan oleh kementan menjadi sangat penting bagi penguatan ketahanan pangan.
Menurut Ferrary, sistem ini dapat memberikan masukan bagi kebijakan dalam mengantisipasi dan menyiapkan skenario-skenario strategis agar produksi pertanian dapat berjalan secara berkelanjutan.
"Selain itu, hasil model berbasis science dengan dukungan data yang berkualitas (kerangka kebijakan satu data dan satu peta) yang terintegrasi dalam sistem ini akan semakin menguatkan dukungan bagi kebijakan sektor pertanian khususnya," jelasnya.
Ferrary menambahkan Badan Informasi Geospasial tentunya akan terus memberikan dukungan bagi penguatan sistem ini ke depannya, khususnya dalam membangun data dan informasi berbasis spasial yang berkualitas dan berkelanjutan dengan multi-resolusi dan multi skala dalam satu referensi tunggal dan satu standart untuk dapat dipergunakan bagi penguatan sistem ews sipantara.
"Seperti kita pahami bersama bahwa kebijakan yang baik tentunya berasal dari data informasi yang baik pula. Karena itu penguatan data yang berkualitas menjadi salah satu konsentrasi kami dalam kegiatan ini," pungka Ferrary. (mrk/jpnn)
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi