Anwar Abbas Menilai Ada Keganjilan dari Alasan Pemerintah Membubarkan FPI

Rabu, 30 Desember 2020 – 21:36 WIB
Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas. Foto: ANTARA/HO-Dokumentasi Humas Muhammadiyah

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat sosial, ekonomi, dan keagamaan Anwar Abbas mempertanyakan keputusan pemerintah yang membubarkan Front Pembela Islam (FPI) dan melarang beraktivitas di Indonesia.

Pasalnya, beberapa alasan pemerintah untuk menetapkan FPI tidak boleh beraktivitas mengundang keganjilan.

BACA JUGA: Terdengar Suara Tembakan dan Teriakan dari Rumah Anggota Polisi di Depok, Innalillahi

Misalnya saja ketika pemerintah beralasan menjaga persatuan Indonesia untuk menetapkan FPI tidak boleh beraktivitas di tanah air.

"Pertanyaan saya seberapa berbahayakah FPI ini dilihat oleh pemerintah? Apakah kehadiran FPI itu mengancam eksistensi bangsa, karena dia mau mengganti Pancasila dan UUD 1945?" tanya Anwar dalam pesan singkatnya kepada jpnn, Rabu (30/12).

BACA JUGA: Langkah Pemerintah Bubarkan FPI Dikritik Bukhori PKS, Kalimat Terakhir Tajam Sekali

Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu percaya, FPI tidak berniat mengubah Pancasila dan UUD 1945.

Toh, kata Anwar, disertasi milik Iman Besar FPI Habib Rizieq Shihab berbicara tentang Pancasila.

BACA JUGA: FPI Dibubarkan, Lemkapi: Kegiatan Mereka Sudah Banyak Mengganggu Ketertiban

"Jadi, kalau begitu, kesimpulan saya pelarangan FPI tidak bersifat ideologis. Kalau tidak bersifat ideologis, berarti  kehadiran FPI tidak akan mengancam dan akan merusak  eksistensi bangsa," ungkap dia.

Alasan lain yang menuai keganjilan, ketika pemerintah menyebut FPI sudah tidak memiliki legal standing sejak 20 juni 2019.

Dengan begitu, pemerintah bisa menetapkan aktivitas FPI dilarang di Indonesia.

"Kalau seperti itu mengapa pemerintah tidak panggil saja itu FPI, supaya mereka mengurus kembali legal standing-nya," ungkap dia.

Selanjutnya, kata Anwar, keganjilan juga terlihat ketika pemerintah beralasan FPI acap kali melakukan sweeping, sehingga melarang aktivitas organisasi itu.

Menurut Anwar, FPI melakukan sweeping setelah laporannya tentang masalah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak tertentu, tidak kunjung mendapatkan respon dan tindak lanjut.

"Kalau memang seperti itu pihak penegak hukum hendaknya bersifat responsif dan cepat tanggap, sehingga tindakan-tindakan sweeping tersebut tidak terjadi," tutur Anwar.

Sebelumnya, pemerintah menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri dan tiga pimpinan lembaga tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI.

Surat itu diteken Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kapolri Idham Azis, dan Kepala BNPT Boy Rafli Amar.

Dalam pertimbangannya, tiga menteri dan tiga pimpinan lembaga menerbitkan SKB tertanggal 30 Desember itu untuk menjaga eksistensi Pancasila dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Bahwa untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara, yaitu Pancasila, UUD RI 1945, keutuhan NKRI dan Bhinneka TUnggal Ika," ucap Wamenkumham Eddy Omar Sharif Hiariej saat membacakan SKB tiga menteri dan tiga pimpinan lembaga yang disiarkan akun Youtube Kemenko Polhukam, Rabu.

Kemudian, kata Eddy, SKB diterbitkan setelah melihat anggaran dasar FPI yang melanggar Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas menjadi UU.

Pertimbangan berikutnya, kata Eddy, FPI tidak kunjung memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Kemendagri. SKT FPI sebagai Ormas hanya berlaku per 20 Juni 2019.

"Sampai saat ini FPI belum mememnuhi persyaratan untuk memperpanjang SKT tersebut. Oleh sebab itu secara De Jure terhitung mulai tanggal 21 Juni 2019 FPI dianggap bubar," tutur Eddy. (ast/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler