Langkah Pemerintah Bubarkan FPI Dikritik Bukhori PKS, Kalimat Terakhir Tajam Sekali

Rabu, 30 Desember 2020 – 21:30 WIB
Politikus PKS Bukhori Yusuf. Foto instagram bukhori.

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR Bukhori Yusuf menyatakan tindakan pemerintah membubarkan Front Pembela Islam (FPI) merupakan sebuah kemunduran dan mencederai amanat reformasi yang menjamin kebebasan berserikat.

Legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengatakan kemerdekaan berserikat adalah amanat konstitusi sebagaimana amanat Pasal 28 UUD 1945.

BACA JUGA: Masinton PDIP Sebut Keputusan Pemerintah Melarang FPI Sebuah Keberanian

"Tidak hanya itu, kebebasan berserikat juga tertuang dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 28E UUD 1945 yang menyebutkan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,” kata Bukhori dalam siaran persnya, Rabu (30/12).

Dia juga mengkritik model pendekatan pemerintah dalam menangani permasalahan FPI sejauh ini yang cenderung agresif sejak awal polemik. Itu terlihat dari cara komunikasi publik beberapa pejabat yang kerap menggunakan nada ancaman, hingga keputusan menolak upaya dialog rekonsiliasi.

BACA JUGA: Ruhut Tantang Fadli Zon Pakai Lagi Kaus Jubir FPI

Bukhori mengatakan, bila sejak awal pemerintah bersikap bijaksana dan persuasif, maka ketegangan dengan FPI bisa dimitigasi sehingga tidak perlu ada nyawa yang melayang, pemenjaraan Habib Rizieq, bahkan polarisasi di tengah masyarakat yang kian menajam akhir-akhir ini.

Ketua DPP PKS itu pun khawatir terjadi eskalasi baru pascapembubaran FPI yang justru hanya akan memperuncing ketegangan di tengah masyarakat, sehingga menciptakan api dalam sekam.

BACA JUGA: Polisi Geruduk Markas FPI Petamburan, 7 Pemuda Dibawa ke Polda Metro Jaya

Pasalnya, terlepas dari segala catatan kelamnya, perlu diakui bahwa FPI turut memiliki sumbangsih besar terhadap isu sosial kemanusiaan, khususnya ketika terjadi bencana di sejumlah wilayah di Indonesia.

FPI, kata Bukhori, kerap menjadi yang terdepan dalam membantu korban bencana alam. Contohnya saat bencana tsunami di Aceh, gempa bumi di Palu, Sulawesi Tengah, dan aksi kemanusiaan lainnya di sejumlah wilayah Indonesia.

Di sisi lain, FPI sesungguhnya telah menunjukan eksistensinya sebagai aset bangsa yang kontributif, kalau publik bersedia jujur dalam melihat kiprahnya secara adil dan jernih.

Artinya, kata Bukhori, semua persoalan yang timbul belakangan ini seharusnya bisa dibicarakan dengan baik-baik untuk mengantisipasi dendam di kemudian hari.

"Namun sayangnya pemerintah kadung terjebak dalam watak arogansinya," tegas Bukhori Yusuf.

Wakil rakyat asal Dapil Jawa Tengah ini juga mencatat dua kelemahan tindakan pemerintah dalam membubarkan FPI.

Pertama, kegagalan rezim membangun mindset bernegara. Kedua, kecacatan landasan hukum yang digunakan.

Terkait mindset bernegara, Bukhori menganalogikan pemerintah dan FPI sebagai bapak dan anak dalam bangunan keluarga Indonesia

Dalam konteks itu, bila FPI sebagai anak menunjukkan kenakalan, maka sepatutnya sikap yang ditunjukkan pemerintah sebagai seorang bapak adalah mengayominya.

"Bukan melakukan kekerasan terhadapnya, apalagi sampai menghapus namanya dari KK (kartu keluarga)," ucap Bukhori.

Kedua, terkait landasan hukum, UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas sesungguhnya sampai saat ini masih kontroversial karena menyimpan banyak kelemahan.

Salah satunya, ujar Bukhori, UU itu menghilangkan mekanisme due process of law. Sehingga pemerintah bisa secara sepihak membubarkan ormas yang dalam pandangan subjektifnya bersalah karena melanggar ketentuan yang berlaku, tanpa melalui mekanisme pengadilan.

Padahal, ujar dia, hanya dengan mekanisme pengadilan sebuah ormas bisa dibuktikan bersalah atau tidak, serta diberikan ruang untuk melakukan pembelaan.

"Dengan demikian, hal ini jelas melanggar asas praduga tak bersalah,” sambung Bukhori.

Karena itu dia meminta pemerintah tidak sewenang-wenang menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan untuk menjinakkan kelompok yang berseberangan secara pandangan politik.

Bukhori mengingatkan bahwa hukum bukan alat untuk melayani kepentingan kekuasaan, tetapi semestinya menjadi sarana menghasilkan keadilan secara lahir dan batin di tengah masyarakat.

Selain itu, hukum semestinya dioperasionalkan untuk menciptakan keadilan sosial dan menjamin terpeliharanya kehidupan demokrasi yang sehat.

"Hanya negara dengan kepemimpinan otoriter yang mengeksploitasi hukum sebagai 'alat gebuk' apalagi hingga memberangus kekuatan yang tidak sejalan dengan kekuasaan," pungkas Bukhori Yusuf.(boy/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler