jpnn.com, JAKARTA - Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) menanggapi munculnya buku putih yang diluncurkan oleh pemerintah China.
Buku putih itu berisi data pertumbuhan penduduk di Xinjiang sejak 1949 yang dikeluarkan pemerintah China untuk membantah rangkaian laporan tentang penahanan massal, pengendalian kelahiran paksa, dan kebijakan lainnya yang diduga dilakukan China untuk mengurangi jumlah orang Uighur.
BACA JUGA: Eks PM Australia Siap Bantu Taiwan Keluar dari Cengkeraman China
Kantor Informasi Dewan Negara China menyajikan data tersebut di tengah upaya China untuk menghindari pengawasan dan kecaman atas rangkaian pelanggaran yang terbukti terjadi di wilayah tersebut seperti kamp interniran massal, serangan seksual, aborsi paksa, dan kerja paksa.
Menurut sejarawan Islam di Cina dan Uighur Rian Thum, buku putih mengeklaim populasi Uighur di Xinjiang meningkat dari 2010 hingga 2020 dengan mengabaikan penurunan tingkat pertumbuhan populasi dari 2017 dan seterusnya saat kelahiran Uighur ditekan secara paksa.
BACA JUGA: Seperti China, Australia Mendukung Agar Hak Paten Vaksin COVID-19 Dihapus
Jadi, mereka (China,red) menyembunyikan jatuhnya tingkat pertumbuhan penduduk Uighur 2017-2020 dengan menyajikan semua data dalam satu blok yang mencakup periode tingkat pertumbuhan Uighur yang tinggi (2010-2016). Mereka tidak pernah mengatakan apa yang terjadi antara 2017 dan 2020," kata Thum seperti dilansir radio free asia (www.rfa.org).
Menanggapi kondisi isi, PB HMI mendesak dunia internasional khususnya Indonesia untuk tidak mengakui buku putih yang diterbitkan pemerintah China.
BACA JUGA: Partai Komunis China Sikat Mafia Hukum, Eks Menteri pun Ditangkap
Sebab, organisasi dengan lambang berwarna hijau hitam itu menilai buku putih diterbitkan untuk melenyapkan tabir kejahatan kemanusiaan dan aksi genosida terhadap muslim Uighur.
PJ Ketua Umum PB HMI Romadhon JASN mengatakan buku putih adalah kebohongan besar China untuk menghilangkan sejarah kelam dan catatan berdarah kebrutalan mereka dalam menghapus etnis Uighur.
Romadhon menilai pemerintah China sengaja memilih bungkam dan menyembunyikan data jatuhnya tingkat pertumbuhan penduduk Uighur pada 2017 hingga 2020 dengan menyajikan semua data dalam satu blok yang mencakup periode tingkat pertumbuhan Uighur yang tinggi dalam pada periode 2010-2016.
Bagaimana bisa di percaya, wong, datanya nggak ada. Cara-cara China (menyembunyikan data) hanya ingin meyakinkan dunia bahwa mereka tidak mencegah kelahiran dalam kelompok pribumi muslim Uighur, kata Romadhon, Selasa (5/10).
Dia meyakini Presiden Joko Widodo memiliki kemampuan untuk menekan pemerintah China agar menghentikan genosida terhadap muslim Uighur.
Pemerintah China menghadapi tekanan internasional terutama di bidang perdagangan dan perjanjian investasi karena menempatkan etnis muslim Uighur di dalam kamp yang dianggap bertentangan dengan HAM seperti penyiksaan, kerja paksa dan sterilisasi paksa wanita.
“Sudah, lah. Stop kekejian terhadap muslim Uighur. China jangan terus mengelak dan hambat penyidikan yang dilakukan Komisaris Tinggi HAM PBB atau organisasi HAM independen internasional di Xinjiang,” lanjut Romadhon.
China melakukan propaganda untuk membantah fakta dan bukti genosida terhadap muslim Uighur dengan melalukan beberapa langkah terhadap kebijakan otoritas bea cukai Barat agar produk Xinjiang yang diduga diproduksi dengan kerja paksa tidak diboikot.
Meski begitu, berbagai dokumen, foto, dan video terkait aksi genosida yang dilakukan oleh negeri panda ini beredar luas di publik sehingga semakin banyak negara-negara di dunia yang ikut menentang perlakuan China terhadap muslim Uighur.
Bahkan, Israel ikut menandatangani pernyataan bersama yang disampaikan kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) agar mendesak China untuk mengizinkan pengamat independen mengakses wilayah Xinjiang barat.
“Coba bayangkan, negara zionis Israel yang dikenal bersebrangan dengan umat muslim, ikut mengecam apa yang mereka sebut penindasan China terhadap komunitas Uighur,” ujar Romadhon.
Pernyataan bersama ini juga didukung oleh Australia, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Spanyol dan Amerika Serikat. (mcr9/jpnn)
Redaktur : Adil
Reporter : Dea Hardianingsih