COVID-19 menjadi pandemi terbesar dalam 100 tahun terakhir dan telah merengut sejuta nyawa di dunia.
Sementara lebih dari 33 juta orang dinyatakan tertular virus corona sejak bulan Februari lalu.
BACA JUGA: 6 Manfaat Labu Siam yang Jarang Diketahui Banyak Orang
Seringkali kita menggolongkan mereka yang tertular ke dalam salah satu dari dua kategori berikut:
Kategori 1: orang yang muda, sehat, mengalami gejala ringan dan pulih setelah isolasi di rumah.
BACA JUGA: Maskapai Malaysia Terpaksa PHK Ratusan Karyawan Gegara Virus Corona
Kategori 2: orang tua dan orang dengan penyakit bawaan, yang kondisinya menjadi parah dan harus pergi ke rumah sakit.
Tapi kini semakin jelas terlihat jika banyak orang tidak bisa dimasukkan hanya ke dua kategori itu.
BACA JUGA: Ratusan Gajah Afrika Mati Secara Misterius, Apa Penyebabnya?
Sebutan "ringan" atau "parah", "sakit" atau "sembuh" sangat tergantung dengan gejala penyakit yang mereka alami, kadang bisa bertahan lama, ada pula yang baru mengalaminya beberapa minggu, bahkan berbulan-bulan, setelah tertular.
Semakin banyak laporan dan penelitian yang mencatat adanya rasa lelah yang terus-menerus, sesak napas, atau nyeri otot, yang menyerang orang-orang, meski mereka sudah sembuh dari COVID-19.
Jadi, apa yang kita ketahui tentang efek jangka panjang virus corona terhadap kesehatan dan seberapa jauh kita harus mengkhawatirkannya? Efek pada kesehatan bisa berlangsung berbulan-bulan
Sulit untuk menghitung berapa banyak orang yang tertular COVID-19 akan menghadapi dampak kesehatan jangka menengah atau jangka panjang, karena virus ini masih baru, ujar Kirsty Short, seorang ahli virologi di Universitas Queensland.
"[Efek pada kesehatan] ini pasti terjadi, hanya saja kita tidak mengetahui seberapa umum itu," kata Dr Kirsty.
Pada Juli lalu, peneliti di Italia menemukan hampir 90 persen pasien dengan infeksi akut masih mengalami gejala dua bulan setelah sembuh.
Penelitian di Amerika Serikat dan Inggris yang memperhatikan lebih banyak orang yang terkena COVID-19, menunjukkan sekitar 10 hingga 15 persen tetap memiliki gejala.
Gejala yang menetap di tubuh tampaknya dialami oleh semua kalangan usia dan mereka yang tidak memiliki penyakit bawaan.
Orang tanpa gejala atau yang memiliki gejala ringan juga dapat menghadapi penyakit lain yang berkepanjangan. Kadang gejala ini membutuhkan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk muncul. Photo: Bahkan orang dengan penyakit ringan pun mengalami kelelahan jauh setelah masa pemulihan. (Getty Images: Malte Mueller)
Banyak organ tubuh yang terdampak virus ini
SARS-CoV-2 pada dasarnya dianggap sebagai virus pernapasan, tetapi kerusakan yang disebabkan oleh COVID-19 tidak selalu terbatas pada paru-paru.
Virus berikatan dengan reseptor ACE2 yang banyak ditemukan di saluran pernapasan, jantung, pembuluh darah, ginjal, hati, dan saluran pencernaan.
Dalam beberapa kasus, bisa jadi virus itu sendiri yang menyebabkan kerusakan pada organ tubuh.
Para peneliti menduga tingginya peradangan dalam tubuh, akibat sistem kekebalan yang mencoba menyingkirkan virus, tetap bisa menyebabkan malapetaka, bahkan setelah sembuh.
"Ini hampir pasti merupakan respons kekebalan, karena kami melihat gejala pada pasien yang dites negatif terhadap virus," kata Dr Kirsty.
COVID-19 dapat merusak banyak sistem organ, termasuk: Paru-paru: Paru-paru bisa rusak saat virus memasuki sel-sel saluran udara. Hal ini dapat menyebabkan jaringan tersayat dan kaku yang menyulitkan paru-paru untuk melakukan tugasnya mengoksidasi darah dan membuat orang terengah-engah. Jantung: Virus dapat menyebabkan radang otot jantung atau gagal jantung bila organ tidak memompa darah sebagaimana mestinya. Jantung juga bisa berhenti karena kekurangan oksigen. Otak: Jika virus memasuki otak, maka akan menyebabkan infeksi yang parah. Gejala neurologis juga bisa disebabkan oleh peradangan di otak atau stroke yang disebabkan oleh pembekuan darah. Gejala terlihat pada infeksi lain
Beberapa pasien COVID-19 mengatakan merekah merasakan kelelahan, kesulitan berolahraga, bahkan berbulan-bulan setelah mereka sembuh.
Dr Kirsty mengatakan kelelahan pasca-COVID sebenarnya terlihat pada infeksi virus lainnya, meski berbeda dampaknya.
"Kita tahu virus Epstein-Barr, yang menyebabkan demam kelenjar, juga dikaitkan dengan sindrom kelelahan kronis setelahnya," katanya.
Demikian pula, ada bukti yang menunjukkan jika COVID-19 dapat menyebabkan kerusakan jantung, yang biasa terjadi pada virus lain, kata Linda Gallo dari University of Queensland.
"Dari bukti yang kami tahu, SARS juga berpengaruh pada jantung," kata Dr Linda, yang kini meneliti bagaimana virus corona memengaruhi jantung.
"Namun itu umumnya tidak bertahan melampaui masa pemulihan."
"COVID tampaknya berperilaku sedikit berbeda."
"Faktanya ada orang yang [telah] sembuh di rumah dan memiliki gejala yang cukup ringan, kini menunjukkan kerusakan jantung yang bermasalah, dan mengejutkan."
Dr Linda Gallo tergabung dalam penelitian yang menyelidiki efek jangka panjang COVID-19, terutama pada penderita diabetes, dan saat ini sedang mencari orang yang pernah terkena virus corona untuk berpartisipasi dalam penelitian.
Meskipun masih terlalu dini untuk mengatakan apa dampaknya pada penderita diabetes, dia mengatakan ada kemungkinan COVID-19 memiliki kaitan dengan timbulnya diabetes.
"Dugaannya adalah virus secara langsung menyerang pankreas. Tapi itu hanya hipotesis, tidak ada bukti langsung mengenai hal itu pada saat ini," katanya. Pengingat yang tepat pada waktunya
Ada banyak penelitian yang sedang dilakukan untuk menyelidiki apakah COVID-19 akan meninggalkan dampak kesehatan selama-lamanya. Jika ini terjadi, sampai sejauh mana akan berlangsung.
Dr Kirsty Short mengatakan tanpa studi jangka panjang, sulit untuk mengetahui seberapa jauh kita harus khawatir terhadap COVID-19 dibandingkan virus lain.
"Pertanyaannya adalah: Apakah virus dengan tingkat keparahan dan durasi yang sama akan menunjukkan komplikasi pada kesehatan dalam jangka panjang?" katanya.
"Sangat mungkin kita hanya melihat ini dengan SARS-COV-2 karena banyaknya orang yang terinfeksi."
Meski begitu, munculnya berbagai gejala penyakit setelah sembuh dari COVID-19 menjadi pengingat penting untuk mencegah virus corona.
"Ini adalah alasan lain Anda tidak ingin tertular virus ini," kata Dr Kirsty.
Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa dari artikel ABC News
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bukan Merokok, Ini Cara Ampuh Hilangkan Stres