Brisbane, ibu kota negara bagian Queensland akan menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas di tahun 2032.
Ini artinya Australia akan menjadi negara kedua di dunia yang akan sudah tiga kali menggelar pesta olahraga terbesar di dunia.
BACA JUGA: Joe Biden Sebut Jakarta Bisa Tenggelam 10 Tahun Lagi, Begini Respons Tegas Wagub DKI
Sebelumnya Melbourne menjadi tuan rumah Olimpiade di tahun 1956 dan Sydney di tahun 2000.
Negara lain yang sudah tiga kali menyelenggarakan Olimpiade adalah Los Angeles di tahun 1984 dan Atlanta di tahun 1996. Rencananya Los Angeles akan kembali menjadi tuan rumah di tahun 2028.
Brisbane sudah mengalahkan kota-kota dunia lainnya untuk menjadi tuan rumah, termasuk Jakarta.
Tapi Indonesia sudah menyatakan akan mencalonkan diri menjadi tuan rumah Olimpiade di 2036.
BACA JUGA: Diaspora Indonesia dan Warga Australia Bersama Membantu Indonesia di Tengah Pandemi
"Kami mendorong proyek Olimpiade sebagai kegiatan ekonomi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, yang memberikan pengalaman terbaik bagi para atlet dan juga penonton dan memberikan peninggalan ekonomi kuat bagi masyarakat lokal," kata Presiden IOC Thomas Bach ketika mengumumkan terpilihnya Brisbane minggu lalu.
"Visi Brisbane 3032 sejalan dengan strategi jangka panjang sosial dan ekonomi regional dan nasional di Queensland dan Australia dan melengkapi tujuan Gerakan Olimpiade."
Terpilihnya Brisbane sebagai tuan rumah Olimpiade seolah membuktikan kekuatan Australia di bidang olahraga, dengan mencetak banyak prestasi di sejumlah cabang pertandingan, serta memiliki banyak fasilitas olahraga berkelas dunia. Berpenduduk 27 juta mengirimkan 478 atlet
Hingga hari Senin ini (2/08), Australia sudah mengumpulkan 14 medali emas, 3 perak, dan 14 perunggu di Olimpiade tahun ini dan berada di peringkat keempat, setelah Tiongkok, Amerika Serikat dan Jepang.
Tiga belas medali emas yang didapat Australia berasal dari cabang-cabang yang berhubungan dengan air, sesuai dengan karakteristik geografi di mana kota-kota di benua Australia hampir semuanya berada di garis pantai.
Keberhasilan prestasi di bidang renang juga didukung dengan fasilitas olahraga yang memadai. Di tahun 2008, Australia sudah memiliki 47 kolam renang ukuran Olimpiade.
Dari cabang renang yang mengakhiri pertandingan hari Minggu, Australia mendapatkan 9 medali emas, 3 perak dan 8 perunggu.
Ini merupakan pencapaian tertinggi bagi Australia di cabang renang, dengan perenang putri Australia, Emma McKeon menjadi atlet putri yang paling banyak mendapat medali dalam satu Olimpiade, yakni 4 emas dan 3 perunggu.
Emma mendapat medali emas di nomor paling bergengsi di renang 100 meter dan 50 meter gaya bebas dan menyamai rekor pesenam Rusia Maria Gorokhovskaya di tahun 1952 yang merebut tujuh medali.
Emma juga mencatat rekor sebagai atlet Australia pertama yang merebut 11 medali keseluruhan dari Olimpiade yang pernah diikutinya. Sebelumnya rekor tersebut adalah 10 medali bagi atlet Australia di Olimpiade.
Meski hanya berpenduduk 27 juta jiwa, Australia tak kalah bersaing negara-negara besar lain, seperti Amerika Serikat (328 juta penduduk), Tiongkok (1,4 miliar penduduk), Rusia (144 juta penduduk), dan Jepang (126 juta penduduk) yang sedang menjadi tuan rumah Olimpade tahun ini.
Bahkan di Olimpiade Tokyo kali ini, Australia menjadi negara ketiga dengan jumlah kontingen terbesar dengan menurunkan 478 atlet yang bertanding di 33 cabang olahraga, disusul Amerika Serikat 613 atlet dan tuan rumah Jepang dengan 552 atlet.
Jika di pertandingan olahraga tingkat internasional lainnya, negara bisa mengirim atlet untuk bertanding, sebaliknya di Olimpiade hanya mereka yang melewati babak kualifikasi yang bisa bertanding. Olahraga sudah jadi 'gaya hidup' Australia
Keberhasilan Australia mengirimkan jumlah atlet terbanyak sepanjang sejarah Olimpiade, di tengah pandemi COVID-19, semakin menguatkan posisinya sebagai negara dengan penduduk yang tergila-gila dengan olahraga.
Setiap tahun Australia menjadi tuan rumah berbagai kejuaraan internasional mulai dari olahraga beregu seperti kriket, rugby sampai ke olahraga perseorangan, seperti tenis dan balap mobil Formula Satu.
Australia juga memiliki kompetisi olahraga unik bernama sepakbola gaya Australia (AFL), sebuah kompetisi tahunan yang diselenggarakan dengan pertandingan final yang dilangsungkan di Melbourne setiap akhir September dan dihadiri lebih dari 100 ribu penonton.
Dengan kuatnya olahraga di Australia, maka terpilihnya Brisbane, yang juga pernah jadi tuan rumah Pekan Olahraga antar negara Persemakmuran, atau Commonwealth Games di tahun 2018, menjadi sebuah kelayakan untuk menjadi tuan rumah Olimpiade.
Mantan pebulutangkis Indonesia Elizabeth Latif yang sekarang tinggal di Perth, ibu kota Australia Barat, menyimpulkan dengan sederhana mengapa Australia berprestasi begitu bagus di arena seperti Olimpiade.
"Menurut pendapat saya olahraga di Australia adalah gaya hidup, ujar Elizabeth.
"Dari kecil mereka sudah dididik untuk olahraga dan lebih dipentingkan dari pelajaran akademis. Karena itu bentuk dari pembentukan karakter seseorang." Indonesia bukan hanya harus persiapkan fasilitas
Perjalanan Australia yang sudah menunjukkan banyak prestasi di pertandingan olahraga dunia mungkin berbeda dengan Indonesia yang bertekad jadi tuan rumah Olimpiade 2036, meski prestasi olahraga di tingkat Asia Tenggara pun belum dominan.
Tapi Jimmy S Harianto, wartawan senior yang pernah menjadi editor olahraga Harian Kompas dan meliput langsung Olimpiade Barcelona 1992 mengatakan "tidak apa-apa" bagi Indonesia untuk terus maju mencalonkan diri jadi penyelenggara pesta olahraga terbesar itu.
"Tidak apa-apa mencalonkan diri, sebagai cambuk agar pemerintahan pasca Jokowi berorientasi ke depan," katanya kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.
Menurutnya Indonesia bisa saja seperti ibu kota Korea Selatan Seoul yang menjadi tuan rumah Olimpiade tahun 1988.
"Seperti ketika Seoul dulu bermimpi jadi tuan rumah Olimpiade 1988 dan berhasil."
"Padahal situasi politik di Semenanjung Korea saat itu sangat rawan dan volatile. Korea Utara setiap saat mengancam."
"Sehingga warga Korsel besar maupun kecil harus siap menghadapi kegentingan perang. Dilatih roping, menuruni gedung-gedung tinggi dengan tali, serta mewajibkan setiap pemudanya untuk wajib militer pada rentang usia tertentu," kata Jimmy.
Hanya saja Jimmy mengatakan untuk jadi tuan rumah Olimpiade tidak cukup bermodal tekad saja.
Diperlukan juga "sembada" atau memiliki kekuatan.
"Tak hanya sembada berprestasi kelas dunia olahraganya. Tetapi juga terutama ekonomi, juga politiknya."
Di tahun 1962, Indonesia, sebagai negara yang relatif muda saat itu, sudah membuktikan diri menjadi penyelenggara pertandingan olahraga kelas dunia, dengan menjadi tuan rumah Asian Games. Presiden Soekarno saat itu membangun Stadion Utama Senayan yang sekarang bernama Gelora Bung Karno.
Menurut Jimmy, ketika itu Soekarno mau menunjukkan pada tetangga Asia Tenggara dan Asia bahwa Indonesia adalah negara Asia Tenggara yang sembada ekonominya.
"Sarana dan prasarana yang dibangun Soekarno masih menjadi sarana yang masih terbaik digunakan Indonesia sampai saat ini."
"Tetapi tentunya sudah kurang memadai untuk Olimpiade 2036. Presiden Jokowi sudah merevolusi pembangunan infrastruktur kota dan antar kota Jakarta dan sekitarnya."
"Tetapi untuk 2036? Masih harus dibangun tersendiri sarana dan prasarana untuk itu."
"Rentang waktu memang masih cukup panjang. Tetapi apakah kesembadaan politik pasca Jokowi akan dijamin stabil?"
Sementara sarana olahraga masih bisa dibangun, menurut Jimmy, yang sudah mengikuti perkembangan olahraga Indonesia selama 30 tahun terakhir, yang mengkhawatirkan adalah prestasi olahraga yang dimiliki Indonesia.
"Beberapa pemerintahan pasca Soekarno sama sekali tidak mementingkan olahraga sebagai kebanggaan negara, seperti Thailand, Korea Selatan, Jepang, dan tentu Amerika Serikat."
"Karenanya prestasi di bidang olahraga kita kedodoran."
"Cabang olahraga bulutangkis andalan prestasi dunia-nya Indonesia, [tapi] sudah nampak ketinggalan jauh dari Korea, Jepang, apalagi Denmark dan Tiongkok."
"Seperti halnya olahraga Indonesia yang jalan di tempat, di [cabang] bulu tangkis pun stagnant, kalau tak boleh dibilang mundur, jika dibandingkan ketika Try Sutrisno dulu membangun persiapan prestasi menuju Olimpiade Barcelona 1992," jelasnya.
Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengubah sistem pencalonan tuan rumah Olimpiade di tahun 2019 dengan menunjuk langsung negara, setelah sebelumnya mengumumkan calon yang diprioritaskan.
Ini dimaksudkan untuk mengurangi pembiayaan bagi negara-negara yang bermaksud mencalonkan diri.
Namun dalam proses ini kemungkinan adanya pertimbangan lain selain prestasi olahraga dan ketersediaaan sarana bisa saja terjadi.
Indonesia mencalonkan sebagai Olimpiade 2036, setelah menganggap berhasil menjadi tuan rumah Asian Games tahun 2018. Tapi masalahnya sekarang Indonesia juga harus bersaing dengan negara-negara lain yang berminat mencalonkan diri.
Masih ada waktu sekurangnya empat tahun bagi Indonesia untuk mempersiapkan diri meningkatkan prestasinya dalam olahraga di tingkat dunia, selain membangun lebih banyak fasilitas.
Kalau keduanya tercapai, mungkin IOC akan dengan serius mempertimbangkan Jakarta untuk menjadi tuan rumah 2036, atau setidaknya di Olimpiade tahun-tahun selanjutnya.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketidakpercayaan Warga kepada Aparat Hambat Vaksinasi di Papua