Tak ada yang bisa menduga nasib manusia, termasuk kematian. 

Tapi di tengah pandemi COVID-19, semakin banyak keluarga kehilangan anggotanya yang termasuk dalam kelompok usia produktif.

BACA JUGA: Kisah 4 Yatim Piatu di Probolinggo, Si Sulung Baru Kelas XI

Hani Yuliandrasari, 42 tahun, seorang warga di Bandung, Jawa Barat, kehilangan suaminya Tulus Mugiyono yang usianya sama pada awal Juli lalu karena COVID-19.

"Dari awal gejala sampai suami saya meninggal itu 24 hari. Saya tidak menyangka akan sefatal ini, karena sebelum terinfeksi suami dalam keadaan bugar," kata Hani kepada wartawan ABC Indonesia, Sastra Wijaya.

BACA JUGA: Pernyataan Yusril ini Tegas Banget ke Pemerintah!

Suami Hani yang juga seorang dokter hewan tidak divaksinasi karena memiliki kondisi kesehatan yang disebut  'imunocompromised', di mana sistem kekebalan tubuhnya tidak normal.

"Suami saya punya Grave disease yang terdiagnosis di Australia tahun 2015. Lalu berobat dan membaik, sampai terkena COVID," kata Hani yang menyelesaikan pendidikan doktoral di Australia.

BACA JUGA: Gangguan Kecemasan, Insomnia, Hingga Trauma Dialami Penyintas COVID dan Anak Muda Indonesia Saat Pandemi

Hani sekarang menjadi tenaga pengajar di Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, sementara mendiang suaminya memiliki klinik dokter hewan dan bisnis obat hewan.

"Suami dan saya sama-sama memiliki kontribusi dalam ekonomi keluarga. 

"Dengan meninggalnya suami saya tentu kami jadi lumpuh separuh."

"Dan saya harus ambil alih semua pemenuhan ekonomi keluarga," kata Hani.

Menurut Hani, setelah suaminya meninggal, ia langsung mencari tahu apakah suaminya memiliki utang, bagaimana kondisi bisnisnya, serta data-data pribadi di 'gadget' milik suaminya.

"Saya juga buta tentang bisnis suami, karena memang semasa hidup kami jarang sekali sharing tentang ini."

"Bidang kami berbeda jauh, saya dosen di bidang ilmu sosial dan pendidikan, sedangkan suami di kesehatan hewan," katanya.

"Kami juga tidak berbagi password hape dan laptop, karena komitmen kami saling mempercayai masing-masing."

Tapi Hani berhasil menemukan 'password' suaminya, sehingga ia bisa mencari tahu utang piutang terkait bisnis suaminya.

"Alhamdulillah ternyata tidak ada hutang besar yg harus saya selesaikan," kata Hani. Bertahan dengan tabungan

Warga Bandung lainnya, Dyah Wirastuti, 56 tahun, adalah seorang sarjana psikologi yang memutuskan pensiun setahun lalu agar bisa lebih banyak berada di rumah mengurus keluarganya.

Suaminya, Doddy Abdul Karim, dosen jurusan olahraga di Institut Teknologi Bandung (ITB) meninggal bulan Desember 2020 karena COVID-19, meninggalkan Dyah dan dua orang anak mereka.

"Dampak ekonomi sangat terasa karena sejak saya pensiun saya tidak dapat penghasilan lagi setiap bulannya,' kata Dyah.

"Penghasilan hanya dari suami dan empay bulan dari kematiannya saya masih dapat gaji suami penuh dari instansinya."

"Setelah gaji stop dan saya akan dapat pensiunan janda, tapi sampai hari ini uang pensiunnya belum turun."

"Jadi sekarang saya hidup dengan uang tabungan yang  masih tersisa."

Dyah mengatakan sebenarnya ia bisa saja kembali bekerja, tapi ia enggan untuk kembali terjun di dunia psikologi yang pernah digelutinya selama 25 tahun.

"Saya sebetulnya ingin punya usaha tapi, sampai saat ini belum terpikirkan mau usaha di bidang apa."

"Untuk saat ini kebutuhan untuk saya dan anak-anak masih bisa terpenuhi, walaupun saya harus banyak melakukan pengurangan," ujarnya.

"Tidak ada lagi asisten rumah tangga, semua pekerjaan rumah saya lakukan sendiri, mengurangi makan-makan atau membeli makanan dari restoran, mengurangi beli pakaian buat saya." Kenali 'segitiga dasar keuangan'

Lina Yunita, seorang penasehat keuangan pribadi di Jakarta mengatakan pentingnya untuk membuat persiapan diri, terutama di saat pandemi saat semuanya tidak menentu.

"Kita tidak boleh jumawa menganggap akan hidup sampai tua. Karenanya kita  harus mempersiapkan kemungkinan terburuk," kata Lina.

Sebagai seorang penyintas kanker payudara, Lina mengatakan dari pengalaman pribadinya saat mengalami hal kritis ia pun sempat "terguncang".

"Saya saya yang sudah persiapan ini itu bisa terguncang, apalagi kalau tidak menyiapkan."

"Persiapan ini bisa dilakukan sedini mungkin, semuda mungkin. Bahkan sebelum berkeluarga," katanya.

Menurutnya, yang perlu diketahui oleh individu atau pun keluarga soal perekonomian rumah tangga adalah 'segitiga dasar keuangan'.

"Yang pertama pemenuhan kebutuhan pokok ... baru membuat dana darurat keluarga."

Menurutnya dana darurat yang bisa disiapkan nilainya setara dengan kebutuhan hidup setiap bulan untuk enam sampai 12 bulan.

Kemudian yang terakhir adalah asuransi jiwa, baik bagi pencari nafkah utama. 

Tapi ia menjelaskan 'life insurance' dalam bahasa Inggris lebih tepat diterjemahkan sebagai 'asuransi hidup', bukan asuransi jiwa seperti yang dikenal di Indonesia selama ini.

"Asuransi hidup yaitu agar yang ditinggalkan bisa hidup, dengan standar yang minimal sama atau lebih baik," kata Lina.

Hani setuju asuransi yang dimilikinya sangat membantu kehidupannya bersama dua anak remajanya, setelah ia kehilangan suaminya.

Ia juga mengatakan perlunya para istri untuk bisa memiliki juga penghasilan dalam rumah tangga.

"Untuk saya yang bekerja saja, sangat terasa bagaimana perubahan ekonomi keluarga dengan meninggalnya suami."

Sementara itu Dyah mengatakan andai saja ia bisa memutar kembali waktu, ada beberapa hal yang dilakukannya.

"Menabung, ikut asuransi kesehatan, mempersiapkan usaha untuk bekal pensiun," ujarnya.

"Untuk keluarga yang lain, kembangkan ketrampilan yang kita punya, yang bisa menunjang saat kita harus ditinggal oleh pasangan kita."

"Jangan gengsi untuk melakukan usaha-usaha yang bisa menambah penghasilan," kata Dyah.

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pangdam Kasuari: Kita Harus Bebas dan Selamat!

Berita Terkait