Kawasan yang dengan penduduk 600 juta orang, membentang mencakup 11 negara, blok negara-negara Asia Tenggara merupakan salah satu blok perekonomian terbesar di dunia.

Namun, apakah Australia salah memandang negara-negara yang sebenarnya merupakan tetangga terdekat tersebut?

BACA JUGA: Tiongkok Mengeluarkan Visa untuk Turis Asing Mulai Pertengahan Maret 2023

"Kita dulu sangat berpengaruh bagi mereka di sana. Dan sekarang kita semakin tidak dianggap," kata  Professor Tony Milner direktur Asialink di University of Melbourne yang sudah lama mengamati kawasan Asia Tenggara.

Dia memperingatkan, pada saat Australia terus berpaling dari Asia Tenggara, Australia akan kehilangan manfaat dari  kekuatan politik, ekonomi, dan budaya yang ada. 

BACA JUGA: Inggris Klaim Pakta Nuklir AUKUS Kabar Gembira untuk Dunia

Jajaran negara-negara  yang  majemuk 

Kawasan Asia Tenggara terdiri dari Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam (yang juga membentuk ASEAN, organisasi negara-negara Asia Tenggara) dan Timor Leste.

Di dalam 10 negara tersebut ada ratusan etnis dan budaya yang beragam. Ada lebih dari 1.000 bahasa yang dipakai.

BACA JUGA: Disepakati! Kapal Selam Nuklir AS & Inggris Bakal Memangkal Dekat Indonesia

Agama dan kepercayaannya juga beragam. Indonesia adalah negara dengan penganut Islam terbesar di dunia, Filipina dikenal sebagai negara penganut agama Katolik terbesar di dunia, dan Thailand memiliki penganut Buddha yang juga terbesar di dunia.

Secara politik, negara-negara di kawasan ini juga menerapkan beberapa sistem berbeda, yang pada umumnya bisa menciptakan stabilitas, di luar satu pengecualian yakni Myanmar, satu negara yang  terus mengalami kekacauan dan konflik senjata.

Secara keseluruhan, negara-negara Asia Tenggara memiliki pendapatan sebesar A$5,4 triliun, bandingkan dengan pendapatan Australia yang hanya A$2,5 triliun, di kawasan ini pula ada salah satu pusat keuangan terpenting di dunia yakni Singapura.

Jangan sebut kawasan ini sebagai semata halaman belakang Australia.

"Saya melihat sebuah kalimat dalam sebuah artikel baru-baru ini yang masih merujuk Asia Tenggara sebagai "halaman belakang Australia."

Ini bukan cara yang benar untuk menarik perhatian publik Australia mengenai negara-negara hebat di sekeliling kita itu," kata Milner.Menurunnya pengaruh Australia 

Milner mengatakan hubungan Australia dengan Asia Tenggara berubah drastis dalam beberapa puluh tahun terakhir, karena adanya berbagai perkembangan dunia.

"Pendapatan total kita hanya beberapa waktu yang lalu lebih besar dari keseluruhan ASEAN. Sekarang mereka dua kali lipat lebih besar dari kita," kata Milner.

"ASEAN adalah mitra dagang kedua terbesar kita, namun dari sisi mereka, Australia adalah mitra dagang nomor 8 atau 9, dan nilainya hanya 2-3 persen."

"Kita juga menghadapi kompetisi lebih banyak di kawasan. Korea sama sekali tidak punya peran apa-apa dalam arti ekonomi bagi kawasan Asia Tenggara puluhan tahun lalu. Sekarang nilai perdagangan mereka dua kali lebih besar dari Australia."

Salah satu informasi yang dikutip oleh beberapa ahli: saham investasi Australia di Vietnam, misalnya, lebih kecil dari saham perusahaan mainan dan permainan Denmark, Lego.

Survei mengenai pandangan negara-negara Asia Tenggara terhadap Australia juga menunjukkan adanya perubahan sikap yang besar.

Survei ini bertanya kepada para tokoh Asia Tenggara, mulai dari akademisi, pengusaha, NGO dan pemerintah mengenai hubungan di kawasan.

"Dalam soal pendidikan sebagai penyedia pendidikan dari Barat, Australia masih dianggap bagus," kata Milner.

"Tetapi Australia tidak lagi dilihat sebagai aktor penting di berbagai bidang lain, dan persentase yang diberikan kepada Australia rendah sekali."

Dia mengatakan, dalam hal pengaruh dalam mempromosikan perdagangan bebas, dan kepatuhan memenuhi aturan internasional, Australia tidak dianggap penting.

Hal ini menurut Milner sangat berbeda dari puluhan tahun lalu ketika Australia memainkan peran penting dalam proses perdamaian Kamboja, menjadi negara kunci bagi pembentukan APEC, dan juga pemimpin dalam pembentukan Konvensi Senjata Kimia. dan Pertemuan Cairns bagi Negara Perdagangan Bebas.

Belakangan ini  contoh-contoh itu tidak ada lagi.

"Ini sangat memprihatinkan. Kita mempunyai banyak pekerjaan yang harus dilakukan," kata  Milner.Langkah ke depan

Menurut Milner, masalah yang paling jelas dalam hubungan Australia dengan Asia Tenggara yang harus ditangani adalah "kita sangat lemah dalam soal investasi di kawasan."

Padahal, kawasan Asia Tenggara mendapatkan "begitu banyak investasi besar" dari bagian dunia lain termasuk dari Amerika Serikat dan Eropa.

"Apakah kita tidak percaya dengan kawasan tersebut? Mengapa kita tidak di sana? Mengapa kita tidak bisa jadi pemimpin [di area tersebut]?" kata Milner.

Ada tanda-tanda bahwa pemerintahan PM Albanese sekarang mulai memberikan perhatian. Akhir tahun lalu, mantan CEO kelompok perbankan Macquarie Group, Nicholas Moore, diangkat sebagai Utusan Khusus Asia Tenggara.

Bagian dari tugas Moore adalah mencari celah bagi Australia untuk mengambil manfaat dari semakin banyaknya kelas masyarakat baru di Asia Tenggara yang semakin kaya.

Moore adalah satu dari beberapa orang yang mengatakan bahwa di tahun 2040, di seluruh negara-negara Asia Tenggara ini akan ada sekitar 26 juta rumah tangga yang memiliki pendapatan tahunan lebih dari Rp350 juta per tahun.

"Kita banyak berbicara mengenai India, namun GDP ASEAN sudah lebih besar dari India, dan dalam soal perdagangan di dunia lebih besar dari India. Jadi kita sepertinya ada sesuatu yang hilang di sini," kata Milner.Harus bekerja keras

Menurut Professor Tony Milner, hubungan Australia dengan Asia Tenggara bukan hanya terletak pada masalah perdagangan dan kebijakan luar negeri.

"Aduh, [untuk memperbaiki itu] kita di Australia ini harus bekerja keras ," katanya.

Salah satu kerja keras yang harus dilakukan adalah terkait semakin menurunnya murid sekolah di Australia yang mengambil mata pelajaran bahasa Indonesia di tingkat sekolah maupun di tingkat universitas.

Menurut Asia Education Foundation, murid sekolah yang mengambil pelajaran bahasa Indonesia di kelas 12 (kelas terakhir sebelum tamat SMA), turun 50 persen dalam kurun waktu satu generasi.

Studi yang dilakukan tahun 2020 mencatat bahwa mereka yang belajar bahasa Indonesia di tingkat universitas turun sebanyak 63 persen di tahun 2019 dari tahun 1992.

Dan universitas harus menutup program studi Asia dan mengurangi staf, hal yang menyebabkan timbulnya protes dari banyak pengamat Asia Tenggara.

"Kita saat ini tidak memiliki sejarawan Asia Tenggara di ANU [Australian National University].  Hal yang luar biasa menyedihkan karena sebelumnya ANU pernah jadi pusat studi Asia terbaik di dunia." kata Milner.

Menutup pendapatnya, Professor Milner mengatakan bahwa Australia harus kembali memperhatikan Asia Tenggara dengan lebih serius meneruskan berbagai hal positif yang sudah dilakukan di masa lalu.

"Ini kawasan di mana kita sudah terlibat selama berpuluh tahun dengan catatan bagus. Kita punya pejabat yang mengenal baik kawasan. Kita juga bisa menggunakan akademisi yang memiliki pengetahuan kuat mengenai kawasan. Juga sudah ada komunitas bisnis yang terlibat dalam perdagangan," katanya.

"Namun saat ini kita tidak menggunakan aset-aset tersebut dan ini betul-betul mengkhawatirkan."

Artikel ini diproduksi oleh Sastra WIjaya dari ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... BP2MI Gagalkan Keberangkatan 18 CPMI Ilegal yang Bakal Dipekerjakan di 3 Negara Ini

Berita Terkait