APTI Jabar Minta Pemerintah Batalkan Kenaikan Cukai dan HJE Rokok

Senin, 04 November 2019 – 14:12 WIB
Ratusan Petani Tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Barat, menggelar aksi demo di depan Kementerian Keuangan, Jakarta. Foto dok APTI

jpnn.com, JAKARTA - Ratusan Petani Tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia  (APTI) Jawa Barat, menggelar aksi demo di depan Kementerian Keuangan, Jakarta.

Para petani tembakau ini berasal Cianjur, Ciamis, Banjar, Sumedang, Majalengka, Garut, Pangandaran, Bandung Barat dan Kabupaten Bandung 

BACA JUGA: Sambangi Fraksi PKB DPR, Petani Tembakau Minta Diselamatkan dari Kenaikan Cukai

Aksi mereka juga dilanjutkan di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara Jakarta Pusat. 

Mereka mengajukan dua tuntutan. Pertama menuntut dicabut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 152/ 2019 tentang kenaikan cukai dan harga jual eceran (HJE) rokok. Kedua Revisi PMK No.222 / PMK.07/ 2017 tentang penggunaan, pemanfaatan  dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) .

BACA JUGA: FSP RTMM Dukung Presiden Batalkan Kenaikan Cukai & HJE Rokok

“Kami menolak PMK No. 152/ 2019. PMK tersebut berisi kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok yang sangat tidak manusiawi dan sangat merugikan petani dan juga buruh di industri rokok dan tembakau. Kami menuntut keadilan dari pemerintah. Kami menolak kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok yang sangat tinggi tersebut. Kami menuntut pemerintah menarik atau membatalkan PMK tersebut,” papar Ketua APTI Jawa Barat Suryana di sela aksi demo para petani tembakau, Senin (4/11) .

Suryana menyampaikan, kenaikan cukai rokok dan HJE Rokok sebagaimana tertuang dalam PMK No. 152/2019 terlalu besar. 

BACA JUGA: Bea Cukai Kudus Amankan Ratusan ribu Batang Rokok Ilegal

Kenakan cukai dan HJE tersebut menyebabkan berkurangnya pembelian rokok yang berakibat pada berkurangnya jumlah produksi rokok dan berkurangnya pembelian tembakau hasil perkebunan masyarakat petani tembakau Jawa Barat dan juga daerah daerah lainnya oleh para produsen rokok nasional. 

Selain itu, tingginya harga jual rokok menyebabkan semakin banyaknya rokok rokok illegal yang beredar di pasaran atau masyarakat. 

Hal ini bukan hanya merugikan masyarakat petani dan buruh industri rokok dan tembakau tapi juga merugikan pemerintah itu sendiri. Karena akan kehilangan pendapatan dari cukai karena banyaknya rokok illegal.

“Kalaupun harus naik, naiknya tidak sedrastis saat ini. Kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok saat ini hingga mencapai 23 persen dan 35 persen. Harusnya naiknya bertahap. Misalnya 10 persen. Periode berikutnya 7 persen. Sehingga menjadi 17 persen. Jangan seperti saat ini. Naiknya drastis hingga mencekik produsen dan petani tembakau. Kenaikannya lebih dari 20 persen,” tambah Suryana.

Masyarakat Petani Tembakau Jawa Barat juga keberatan dengan kenaikan HJE yang berada di atas angka kewajaran, yakni 35 persen. Lebih tinggi dari pada angka kenaikan cukai. Menurut Suryana, harusnya kenaikan HJE itu sebanding dengan besaran kenaikan cukai rokok.

Jika kenaikan cukai rokok sebesar 10 persen. Maka kenaikan HJE juga tidak lebih dari 10 persen. Bukan seperti saat ini. Di atas 20 persen.

“Kenaikan HJE itu seharusnya  seimbang dengan kenaikan cukai rokok. Selain itu bertahap. Bukan sekaligus naik. Jika kenaikannya sekaligus apalagi kenaikan HJE jauh lebih tinggi dari pada kenaikan cukai, hal ini memberatkan petani tembakau. Sekarang sudah kami rasakan. Produsen rokok mengurangi pembelian tembakau hasil perkebunan para petani tembakau dari setiap daerah. Hal ini amat meresahkan dan menyengsarakan petani tembakau. Pemerintah harus menyadari dan merasakan itu,” tegas Suryana.

Di tempat yang sama, Suryana juga menyampaikan, tuntutan kedua yang diajukan ratusan anggota nye kepada pemerintah khususnya kepada Presiden dan Kementrian keuangan adalah direvisinya PMK No. 222/ PMK.07/2017 tentang Penggunaan, pemanfaatan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). 

“Kami meminta peraturan itu direvisi. Harusnya bukan minimal 50 persen untuk kesehatan melainkan maksimal 50 persen untuk kesehatan. Jika minimal 50 persen untuk kesehatan, bisa jadi keseluruhan dana DBHCHT untuk kesehatan. Padahal masih banyak sektor lain yang harus menerima pemanfaatan dana DBHCHT. Karena itu kami minta direvisi, bukan minimal 50 persen untuk kesehatan tapi maksimal 50 persen untuk kesehatan. Selebihnnya untuk bidang lain yang juga bermanfaat untuk pembangunan masyarakat dan daerah penerima dan bagi hasil cukai dan tembakau,” papar Suryana.

“Kami berharap, pemerintah khususnya kementerian keuangan mendengarkan aspirasi kami sebagai rakyat sekaligus stake holder dari industri rokok dan tembakau di tanah air. Karena itu kami berharap pemerintah baik Presiden maupun kementrian keuangan dapat mengabulkan permintaan atau tuntutan kami. Tuntutan kami, bukan hanya untuk masyarakat petani tembakau semata, tapi juga untuk buruh dan pemerintah sendiri," imbuhnya.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler