jpnn.com, JAKARTA - Ditetapkannya anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi sebagai tersangka korupsi BTS 4G BAKTI menambah daftar auditor yang menjadi pesakitan.
Ini seolah mengonfirmasi pernyataan eks Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) beberapa tahun silam.
BACA JUGA: 6 Jam Diperiksa KPK, Ahok Sebut Masalahnya Ada pada Orang Ini
Kala itu, Ahok menyampaikan bahwa BPK kerap mencari masalah agar bisa mendapatkan keuntungan pribadi dari para pejabat.
Sebab, memiliki kewenangan besar, seperti rekomendasi yang diberikan menjadi ketetapan tanpa bisa diutak-atik.
BACA JUGA: Kalau Ganjar Presiden, Ahok jadi Ketua KPK
Pernyataan tersebut pun dibenarkan pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Sigid Riyanto. "Betul," ucapnya singkat saat dihubungi di Jakarta, Selasa (7/11).
Diketahui, Achsanul Qosasi ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima uang sekitar Rp 40 miliar terkait jabatannya, utamanya "pengamanan" audit proyek Palapa Ring, melalui orang kepercayaannya, Sadikin Rusli.
BACA JUGA: Ahok Berkata Menohok soal Kabar Gibran Cawapres Prabowo
Duit itu diterima dari para terdakwa sesuai arahan bekas Direktur Utama BAKTI Kominfo, Anang Achmad Latif.
Sigid menerangkan, audit BPK riskan "diperdagangkan" menyusul adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016.
Isinya, kebenaran tentang kerugian negara menjadi delik materil.
"Artinya, hasil audit menjadi bagian yang dapat membuktikan ada tidaknya tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan karena dengan hasil audit bisa menjadi ada tidaknya perbuatan korupsi," tuturnya.
Faktor berikutnya, minimnya pengawasan membuat potensi penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) semakin besar terjadi. Apalagi, kekuasaan memberikan peluang besar pada ekses ekonomi yang tinggi.
"Memang selama ini susah untuk menjadikan manusia betul-betul clear kalau satu, memang tidak didukung moralitas yang tinggi; yang kedua, ketika masih ada kepentingan di balik itu; yang berikutnya, intinya, ketika pengawasan intern menjadi lemah, orang bebas seolah-olah tanpa pengawasan dari pihak luar," bebernya.
Sigid melanjutkan, pengawasan BPK oleh DPR belum maksimal karena masih banyak auditor negara yang terjerat kasus tindak pidana korupsi.
Eks Dekas Fakultas Hukum (FH) UGM itu menyarankan adanya pengawasan dari eksternal dan memperketat proses seleksi.
"Oleh karena itu, menjadi bagian yang penting [sekarang adalah] pertama, proses seleksi menjadi lebih ketat. Kedua, mestinya ada pengawasan dari jajaran berkaitan dengan pelaksanaan tugas oleh pejabat publik," jelasnya.
"Ambil contoh seperti saat ini, adanya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Ini, kan, terlepas apa pun hasilnya, yang jelas putusan MK dikoreksi oleh lembaga independen yang orangnya betul-betul independen," imbuhnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif