Area Larangan Merokok di Surabaya Bakal Ditambah

Minggu, 09 Desember 2018 – 08:21 WIB
Ilustrasi. FOTO : Jawa Pos

jpnn.com, SURABAYA - Berdasar permintaan masyarakat, Pansus raperda kawasan tanpa rokok (KTR) akan memasukkan pasal baru tentang area dilarang merokok. Mereka mempertimbangkan adanya aturan larangan merokok di jalan raya. Bukan hanya asapnya yang mengganggu pengguna jalan lain. Namun, abunya juga berpotensi membuat mata kelilipan.

Ketua Pansus Junaedi menyatakan, banyak masukan dari warga yang ditampung. Termasuk aturan bagi pengendara yang merokok Dia mengumpulkan semua aspirasi itu untuk dibahas dengan pemkot yang mengusulkan perda tersebut. ''Nanti kami coba diskusikan lebih jauh dengan pengusul. Sebab, banyak fakta dan kejadian di lapangan yang menyangkut aturan merokok itu,'' kata Junaedi kemarin (7/12).

Sebelumnya, hanya ada lima tempat yang masuk KTR dalam Perda Nomor 5 Tahun 2008. Yakni, tempat ibadah, sarana pendidikan, sarana kegiatan anak, angkutan umum, dan sarana kesehatan. Dalam raperda yang baru, terdapat tambahan tempat. Di antaranya, tempat kerja, tempat umum, dan tempat lain.

Jalan raya bisa dimasukkan kategori tempat lain. Sebab, definisi mengenai tempat lain hingga kini belum diatur secara mendetail. 

Namun, Junaedi merasa keinginan tersebut sulit terwujud. Salah satu syarat KTR harus ada tanda larangan merokok. Jika benar-benar diterapkan, harus ada tambahan rambu-rambu larangan merokok di jalanan. ''Nah, ini agak sulit masuk. Tapi, apa pun bisa terjadi. Makanya, kami perlu diskusi dengan pemkot,'' ujar politikus Demokrat itu.

Kriteria tempat lain dalam raperda tersebut sebenarnya bakal ditentukan melalui peraturan wali kota. Namun, Junaedi mengatakan bahwa pansus bakal mengunci kriteria tersebut sehingga aturan tentang KTR tidak melebar ke mana-mana ketika perda sudah diundangkan.

Selain penambahan kawasan, raperda tersebut mengatur sanksi yang baru. Dalam perda lama, denda maksimal Rp 50 juta. Dalam perda baru, denda perokok dikunci Rp 250 ribu.

Wakil Dekan I Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (Unair) Santi Martini menjadi pakar dalam memberikan masukan raperda KTR. Menurut dia, penguncian nilai denda tersebut sangat dibutuhkan. ''Sebab, kalau yang perda lama pakai Rp 50 juta, itu ya kasihan yang menegakkan aturan. Serbasalah,'' jelasnya.

Menurut Santi, angka Rp 250 ribu sudah pantas. Tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Pas. Jika ada yang kena denda, dia yakin mereka bakal mematuhi ketentuan KTR. Dia menegaskan, aturan KTR perlu dimiliki Surabaya. Tujuannya tidak melarang orang merokok, tetapi memberikan hak perokok pasif yang bisa terkena penyakit serius akibat asap rokok yang dihirup.

Anggota pansus KTR Reni Astuti menambahkan bahwa perda tersebut seharusnya dimiliki Surabaya sejak dua tahun lalu. Namun, pembahasan pansus saat itu gagal. Dia yakin perda yang diusulkan lagi tersebut bisa disepakati pemkot dan dewan. "Ini penting untuk penguatan Surabaya sebagai kota sehat dan layak anak," jelasnya.

Dewan mendorong terwujudnya perda itu setelah mengundang para pakar dari Unair. Didapati fakta bahwa jumlah perokok anak semakin meningkat. Secara nasional, perokok dengan usia 18 tahun ke bawah mencapai 9,1 persen. Padahal, target nasional seharusnya 5 persen. 

Pansus hanya diberi waktu 60 hari kerja. Dengan demikian, perda itu selesai pada akhir Januari atau awal Februari nanti. Begitu ada kesepakatan, aturan KTR yang baru bakal langsung diterapkan. (sal/c15/ayi) 

--- 

Yang Baru dalam Raperda 

- Kawasan tanpa rokok (KTR) dalam perda lama meliputi sarana pendidikan, sarana kesehatan, tempat kegiatan anak, transportasi umum, dan tempat ibadah. 

- Dalam raperda baru, ada penambahan tiga tempat. Yakni, tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya. 

- Definisi tiga tempat tambahan itu belum dibahas dalam pansus. 

- Masih banyak kemungkinan yang bisa ditambahkan atau dikurangi dalam raperda tersebut. 

BACA JUGA: Siap-Siap, Tepergok Merokok Bayar Denda Rp 250 Ribu

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perda KTR Seharusnya Mendidik, Bukan Memusnahkan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler