jpnn.com, JAKARTA - Kewajiban pemerintah daerah memiliki Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTR) pada 2019 dinilai banyak kekeliruan.
Harry Cahya dari Pakta Konsumen mengatakan, berdasarkan catatanya, Perda KTR yang ada saat ini sifatnya bukan pengaturan, melainkan pelarangan.
BACA JUGA: Kasus Kekerasan Seksual pada Anak Terus Meningkat
Dimana, ruang lingkup penjual dan perokok diperkecil hingga membuat rokok menjadi seperti barang ilegal. Apalagi, ruang khusus merokok tidak diakomodir dalam Perda tersebut.
Padahal, kata Harry, dalam peraturan Peraturan Pemerintah (PP) 109 Tahun 2012 dan Undang-Undang 2009 tentang kesehatan, secara terperinci mewajibkan produsen rokok mencantumkan bahaya merokok dalam kemasan, gambar dampak buruk merokok, kandungan tar dan nikotin, hingga pemasangan iklan rokok dan penetapan kawasan tanpa rokok.
BACA JUGA: Anak Muda Jangan Diam Saja Lihat Korupsi
"Kami meminta Perda KTR yang tidak sinkron dibatalkan. Kami melihat semangat Perda KTR bukan lagi sebagai instrument penataan, tetapi pelarangan," kata Harry dalam diskusi 'Inkonsisntensi Hukum Nasional Daerah dan kepastian Usaha' yang diselenggarakan Jakarta Discussion Forum di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (27/11).
Harry menjelaskan, dalam proses pembuatan perda, konsumen tidak pernah dilibatkan. Padahal, konsumen rokok memberikan kontribusi yang signifikan. Pada 2016 saja, penerimaan negara dari cukai rokok sekitar 9 persen.
BACA JUGA: Fahri Pimpin Delegasi DPR Silaturahmi dengan KJRI Sydney
Artinya, lanjut Hary, tidak etis memperlakukan rokok seperti produk ilegal, sementara pajak cukai rokok menjadi kontributor pemasukan APBN yang signifikan.
Jika produk rokok tetap sebagai produk legal meski harus diawasi, mengapa substansi Perda bersemangat untuk memusnahkan.
"Kami tidak alergi dengan Perda, tapi seharusnya bersemangat dan bertujuan untuk penataan. Sosialisasi harus tegas diatur dalam pasal karena itu merupakan edukasi kontruktif," ungkapnya.
Ketua Bidang Litbang Asosiasi Pedangang Pasar Seluruh Indonesia Sjukrianto Yulia menyebut bahwa setidaknya ada 10-15 persen penurunan omset pedagang rokok akibat adanya Perda KTR yang sifatnya melarang.
Hal itu terjadi di Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan penelusurannya, Sjukrianto melihat penjual tidak boleh lagi menjual rokok dengan display lantaran dalam Perda diatur demikian.
"Kepala daerah seperti terlihat pencitraan karena berpihak kepada orang sehat. Mencari popularitas, tapi lupa kebijakanya berimbas kepada orang yang hidup dari penjualan itu," ungkapnya.
Dari 12,6 Juta pedagang pasar tradisional di seluruh Indonesia, dua juta di antaranya adalah penjual klontong. Dari jumlah tersebut, 10 -15 persenya penjual rokok. Omset mereka, kata dia, mencapai 40-70 persen yang diserap oleh negara.
"Kalau semua perda sifatnya memusnahkan, bagaimana mereka bertahan hidup. Penjual rokok belum tentu merokok," ujarnya. (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hotel di Bali Hari Ini Free, Besok Diskon Hotel 50 Persen
Redaktur & Reporter : Adil