jpnn.com - JAKARTA - Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI diingatkan agar tak mengintervensi hak imunitas anggota legislatif dalam menyuarakan aspirasinya secara kritis.
Peringatan tersebut disuarakan politikus PDI Perjuangan sekaligus Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima, menyusul perkembangan politik belakangan ini.
BACA JUGA: MKD Proses Aduan Warga soal Rieke, PDIP: Jangan Latah, Bisa-Bisa Dibubarkan
"Kalau cara menyampaikan hal-hal yang kritis ini kemudian MKD ikut-ikut mengintervensi hak imunitas anggota dewan, enggak bisa. Saya percaya MKD tidak latah kemudian setiap anggota DPR dipanggil," ujar Aria Bima di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/12).
Aria Bima menyatakan pandangannya merespons rencana MKD DPR RI memanggil anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka terkait dugaan pelanggaran kode etik atas pernyataannya yang muncul di media sosial.
BACA JUGA: Rieke Mengkritik PPN 12 Persen, Deddy: MKD Bukan Untuk Mengekang Suara Anggota
Dalam potongan video Rieke mengeluarkan pernyataan tentang penolakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Pernyataan tersebut ada yang menilai provokatif, sehingga kemudian Rieke diadukan ke MKD.
"Saya memprotes itu, MKD jangan latah menanggapi hal-hal yang dilontarkan anggota dewan, bisa-bisa MKD yang dibubarkan," ucapnya.
BACA JUGA: MKD Panggil Rieke yang Mengkitik PPN 12 Persen, Deddy PDIP Sebut DPR Begini
Dia menyebut bahwa MKD DPR RI sepatutnya menempatkan diri pada tugas, porsi, dan kewenangan dalam menjaga kehormatan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
"Dewan ini terhormatnya ada dua, keputusan kelembagaan dan juga perilaku anggota dewan," katanya.
Untuk itu, dia mengingatkan agar MKD DPR RI tidak menjadi polisi dengan latah mengurusi hal-hal menyangkut fungsi dan tugas anggota dewan.
"Kalau itu dalam ucapan di dalam sikapnya mencederai institusi dewan silakan, tetapi kalau itu dalam rangka tugas dia yang diberi amanah dan mandat rakyat, jangan kemudian MKD menjadi polisi," katanya.
"Saya tetap hormat kepada MKD, misalnya, perilaku yang disorientasi anggota dewan terhadap berbagai hal yang mencederai, baik institusi itu dipanggil monggo," ucapnya kemudian.
Aria Bima lantas menjelaskan bahwa interupsi yang disampaikan Rieke Diah Pitaloka saat Rapat Paripurna DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (5/12), lebih berisi penundaan kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025.
"Kalau yang merasa bahwa itu sudah merupakan suatu keputusan DPR dalam bentuk undang-undang, yang disoroti Mba Rieke setahu saya adalah implementasi timing (waktu penerapan)-nya yang mungkin dinilai masih perlu dicermati kembali. Supaya rakyat ini tidak menjadi beban," katanya.
Dia menyebut meski berada di barisan oposisi pemerintahan, PDIP tidak serta merta apriori terhadap kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, melainkan ikut mengawalnya melalui masukan ataupun kritik yang konstruktif.
Begitu pula, lanjut dia, terkait kebijakan kenaikan PPN pada tahun 2025 yang diamanatkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
"Saya kira masukan-masukan yang mungkin menolak atau perlu mempertimbangkan kembali bisa disalurkan lewat usulan-usulan misalnya terhadap perubahan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tahun 2025, dan saya kira pak Prabowo tidak serta merta kemudian ingin mencekik rakyat, mari kritisi bareng-bareng antara yang setuju dan tidak setuju pada saat implementasi PPN ini diterapkan," kata dia. (Antara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Deddy Sebut MKD Menjadi Alat Pembungkaman, Contohnya Memproses Rieke Penolak PPN 12 Persen
Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang