Arief Poyuono Sentil BI dan BPS

Rabu, 26 Agustus 2020 – 16:51 WIB
Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono. Foto: rmol.co

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono mengatakan, bila Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS) tidak punya rasa krisis saat pandemi corona akan berdampak besar dengan program Penyelamatan Ekonomi Nasional dan Penanggulangan Covid-19.

Menurutnya, data akurat perekonomian dari BI, dan ekonomi serta sosial dari BPS sangat dibutuhkan sebagai kompas melangkah ke depan.

BACA JUGA: Dimulai dari Mertua, Wanita Muda Dilecehkan 139 Orang Selama 10 Tahun

“Pembuat kebijakan, pasar dan publik pada umumnya harus mengerti apa arti sebuah kompas bagi seorang pelaut,” kata Arief, Kamis (26/8).

Arief berujar gangguan yang tidak terhindarkan dari penguncian informasi dan data yang disebabkan virus corona di seluruh dunia, tidak hanya mengenai bisnis dan rumah tangga.

BACA JUGA: Bank Indonesia Gandeng Kemendikbud, Mahasiswa Bisa Bekerja di BI

Oleh karena itu, diperlukan kompas yang seharusnya memandu pembuatan kebijakan melalui perairan yang belum dan sulit dipetakan ke depannya.

Menurut Arief, saat Covid-19 ini pembuat kebijakan, pasar dan publik menghadapi risiko serius kehilangan kontak dengan perkembangan yang berkembang pesat di lapangan.

BACA JUGA: BPS: Juli 2020, NTP dan NTUP Naik, Indikator Kesejahteraan Petani Meningkat

“Tepat pada saat para pembuat kebijakan, pasar dan publik sangat membutuhkan angka-angka tersebut," ungkapnya.

Anak buah Prabowo Subianto di Partai Gerindra itu mengingatkan untuk merancang paket fiskal dan moneter guna melewati krisis, tanpa perangkat navigasi data yang tepat akan sulit.

“Ini makin diperumit oleh fakta bahwa penemuan harga di pasar keuangan mungkin sama-sama terganggu dengan lonjakan volatilitas keuangan yang menambah guncangan Covid-19,” tambahnya.

Menurut Arif, kesenjangan informasi yang besar adalah senjata yang tangguh bagi oposisi yang ingin merobek struktur demokrasi.

Dengan tidak adanya data yang dapat diandalkan yang menopang debat publik, disinformasi pun tumbuh subur.

Peredaran informasi yang tidak akurat tentang variabel penting seperti biaya ekonomi dan penyebaran Covid-19, sehingga membesar-besarkan atau meminimalkannya tergantung pada agenda atau tujuan politik tertentu akan jadi lebih mudah.

“Ini adalah tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang membutuhkan sinergi. Setiap orang perlu melakukan bagiannya,” katanya menambahkan.

Ia menilai ada tiga  aktor dalam melihat drama ini. Pertama, lembaga statistik nasional dan otoritas publik lainnya termasuk bank sentral.

Sebagai produsen statistik resmi, mereka harus memainkan peran kunci. Mereka harus berusaha untuk menjaga arus informasi seutuh mungkin, bahkan dalam lingkungan yang menantang ini.

Mungkin yang lebih penting, mereka harus menawarkan lebih banyak panduan dari biasanya dalam menafsirkan statistik yang dihasilkan saat gangguan potensial.

Menurut dia, karena adanya  penonaktifan akibat Covid-19 yang menghambat aktivitas lapangan untuk menyajikan data ekonomi dan sosial yang akurat, para pengguna mungkin bertanya-tanya.

“Seberapa luas hilangnya informasi? Apakah barang-barang yang hilang diperhitungkan? Jika iya, bagaimana? Ini semua adalah pertanyaan yang sah,” ungkap Arief.

Jawaban yang transparan di luar aturan kompilasi dan manual pada waktu standar, lanjut Arif akan memungkinkan analis dan pembuat kebijakan menafsirkan rilis data baru dengan benar.

Selain itu, jika memungkinkan, produsen statistik resmi harus mencoba dan meningkatkan frekuensi dan cakupan data yang disediakan. Asal cukup transparan, pengguna akan mengatasi kelemahan yang tak terhindarkan dari penyebaran data baru.

“Bahkan jika ini mengorbankan standar kualitatif di bawah yang dianggap dapat diterima pada waktu normal,” paparnya.

Ia menambahkan, bank sentral juga harus melakukan bagian tugasnya  dengan meningkatkan perluasan sebaran datanya dan dengan memberikan pembaruan tentang keadaan ekonomi lebih sering daripada pada waktu standar.

“FED New York misalnya, baru-baru ini mulai menerbitkan penilaian mingguan aktivitas ekonomi berdasarkan penjualan ritel, produksi komoditas, konsumsi energi dan klaim pengangguran. Banyak bank sentral lain secara teratur mempertahankan model jenis ini,” papar Arief.

Ia menambahkan dalam lingkup badan publik, mereka yang tidak secara langsung terlibat dalam produksi statistik juga dapat berkontribusi pada upaya ini.

“Agregasi yang sesuai dari data yang mereka kumpulkan akan sangat membantu pembuatan kebijakan dan pada saat yang sama, sesuai dengan persyaratan privasi apa pun,” tandasnya. (boy/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler