jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo menilai penyelesaian honorer K2 tidak perlu melalui panitia khusus (Pansus), sebagaimana kesepakatan Komisi X DPR saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komunitas Pena Emas Persatuan Guru Honorer Republik Indonesia (Komnas PGHRI) dan Pengurus Pusat Perkumpulan Honorer Kategori 2 Indonesia (PHK21) 28 Januari 2020.
"Enggak perlu Pansus, untuk selesaikan apa?" jawab Arief saat dihubungi jpnn.com, Jumat (31/1).
BACA JUGA: Penuntasan Honorer K2, Terbayang Ada Ganjalan Keuangan Negara
Sebelumnya, usulan pembentukan Pansus di Komisi X, merupakan saran dari rekan separtai Arif, Ahmad Basarah, anggota komisi pendidikan sekaligus wakil ketua MPR.
Nah, Arif pun menjelaskan bahwa Komisi II DPR sudah membentuk Panitia Kerja Aparatur Sipil Negara (Panja ASN), yang tujuannya untuk menyelesaikan berbagai persoalan terkait ASN secara menyeluruh.
BACA JUGA: Kewajiban Pemerintah Hanya Sampai di Honorer K2
"Tentu yang dibahas Panja ASN itu mulai urusan rekrutmen CPNS sampai dengan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Dan juga penyelesaian tenaga honorer," jelas Arif.
Pada saat bersamaan, DPR dan pemerintah juga telah menyepakati masuknya perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dalam Prolegnas Prioritas tahun 2020.
BACA JUGA: Kabar Baik dari 2 Pejabat untuk Honorer K2 yang Lulus PPPK
Revisi ini menurutnya harus diselesaikan karena UU tetrsebut sudah tidak mengenal nomenklatur honorer.
"Yang ada di UU ASN hanya PNS dan PPPK. Lantas honorer mau ditempatkan di mana? Padahal cita-citanya mau jadi PNS. Itu terbentur dengan UU itu, apalagi PP tentang manajemen PNS sudah terbit," jelas wakil rakyat asal Jawa Timur ini.
Kalau UU ASN yang ada sekarang tidak diubah, lanjut Arif, yang paling memungkinkan bagi honorer K2 hanya menjadi PPPK. Itu pun mereka harus mengikuti seleksi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 48.
"Kalau honorer mau dinaikkan grade-nya jadi PNS, maka harus ubah UU ASN supaya ada pengaturan bersifat khusus dan afirmatif di dalam ketentuan peralihan UU tersebut," tegasnya.
Selain itu, kalau bicara soal kesejahteraan honorer, kata Arif, itu cukup melalui kebijakan instansi masing-masing.
Bagi guru, kebijakannya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sedangkan tenaga teknis di bupati, wali kota dan gubernur masing-masing daerah.
"Tetapi masalahnya kan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, pasti pakai APBN atau APBD. Nah, itu mau pakai nomenklatur apa? Honorer kan tidak dikenal. Tidak punya payung hukum dia. Maka perlu revisi UU ASN," tandasnya. (fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam